Minggu, 21 Februari 2010

Tugas Kelompok CIQ (Pabean) Hario,Ricardo,Frenkie,Cheprry,Sudtria

Tugas Kelompok CIQ (COSTUMS)
Nama Kelompok :
• Hario Pinandito (0806414130)
• Ricardo Hasudungan (0806414686)
• Frangkie Juny Cohen (0806414010)
• Cheppry
• Sudtrianingsih



PENGAWASAN PABEAN


PENDAHULUAN

KATA PEGANTAR

Puji syukur terhadap Tuhan YME yang telah memberikan rachmatnya hingga terselesaikannya Karya Tulis ini. Karya Tulis yang bertemakan tentang Customs atau Pabean di Indoensia. Penulis juga berterima kasih atas segala partisipasi kelompok dalam bekerjasama memberikan pikiran-pikiran dan juga waktu untuk terciptanya karya tulis ini. Penulis berharap Karya tulis ini berguna bagi par pembaca, Penulis sadar karya tulis yang kami buat ini kurang dari sempurna oleh sebab itu kami berharap kritik dan saran dari para Pembaca, agar Penulis bisa membuat yang lebih baik lagi di hari berikutnya


A. Latar Belakang
Nilai Pabean atau Customs adalah nilai yang digunakan sebagai dasar menghitung Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor. Didalam sistem self-asessment , besarnya Nilai Pabean harus diberitahukan oleh Importir dalam suatu pemberitahuan pabean dengan jujur. Importir yang nakal cenderung untuk memanipulasi pemberitahuan nilai pabean ini dengan maksud ia dapat membayar Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor yang rendah . Caranya ialah dengan memalsukan dokumen pelengkap pabean berupa invoice atau merubah uraian barang atau spesifikasi tehnis barang yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pihak Pabean yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai salah satu institusi fiskal di Indonesia sesuai tugas dan fungsinya ditugasi untuk mengawasi pemasukan barang impor dengan tujuan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari penerimaan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor . Diantaranya yang menjadi salah satu tugasnya adalah melakukan penelitian terhadap kebenaran pemberitahuan nilai pabean oleh Importir pada dokumen pemberitahuan impor dan kelengkapannya . Pasal 16 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah atau ditambah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2006 , menyebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapakan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak pemberitahuan pabean. Ditingkat internasional masalah nilai pabean lambat laun menjadi isu yang sangat penting didalam arus perdagangan antar negara . Dengan melalui mekanisme penetapan nilai pabean yang tinggi , suatu barang dapat dihambat pemasukannya ke negara lain. Bahkan nilai pabean dapat digunakan sebagai sarana anti dumping. Sebelum adanya kesepakatan internasional tentang nilai pabean , pengaturan nilai pabean antar negara sangat berbeda-beda. Masing-masing negara mengatur sendiri sesuai kondisi dan selera masing-masing. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan karena dapat menimbulkan ketegangan hubungan antar Negara terutama didalam perdagangan bilateral atau multilateral. Itulah sebabnya Organisasi Perdagangan Dunia WTO kemudian memandang perlu adanya pengaturan-pengaturan yang seragam dibidang nilai pabean bagi semua anggotanya . Dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 , Indonesia telah meratifikasi perjanjian pembentukan badan dunia WTO. Salah satu persetujuan yang terlampir pada perjanjian tersebut adalah Agreement on Implementation of Article VII of the GATT 1994. Persetujuan ini sering disebut sebagai GATT / WTO Valuation Agreement. Sebagai anggota WTO , Indonesia wajib menyesuaikan semua perundang-undangannya dengan ketentuan WTO. Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah memuat semua ketentuan tentang nilai pabean sesuai dengan ketentuan-ketentuan WTO Valuation Agreement dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April tahun 2005

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai pikhak yang mengawasi lalu lintas barang yang keluar atau masuk daerah dan melakukan pemungutan terhadap Bea masuk, Cukai, PDRI serta mengawasi barang-barang yang dilarang dan dibatasi sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan yang tidak kalah pentingnya Bea dan Cukai bertanggung jawab atas kelancaran dan lalu lintas barang tersebut.
Pengawasan merupakan suatu tindakan atau kegiatan secara sistematis untuk dapat diketahuinya kepatuhan terhadap Undang-undang dan peraturan pelaksananya dengan menggunakan segala tendakan terhadap barang untuk kepentingan pengamanan keuangan Negara dan kelancaran arus penumpang, barang dan arus dokumen. Seiring perkembangan perdagangan internasional, maka kantor pengawasan dan pelayanan bead an cukai tipe A1 Soekarno-Hatta selaku unsur pelaksana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di pintu gerbang Pelabuhan Udara terbesar di Indonesia yang merupakan pintu gerbang antara Indonesia dan pihak luar negeri dinanggap sarana yang tepat dan strategis bagi pihak-pihak yang mempunyai niat baik dengan berusaha untuk memasukkan barang-barang tersebut merupakan tugas dan tantangan berat bagi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A1 Soekarno –Hatta untuk melakukan pengawasan yang optimal terhadap barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkutan.
Dalam melakukan pengawasan, salah satu langkah yang diambil oleh Bea dan Cukai yaitu melakukan penetapan jalur dengan tanpa mempengaruhi kelancaran arus barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut yang memasuki daerah pabean. Pengawasan penetapan jalur pabean inilah yang menjadi perhatian kami untuk mengadakan analisa karena melalui pengwasan terhadap penetapan jalur merah dan jalur hijau masih perlu diketahui oleh berbagai pihak terhadap penetapan jalur merah dan jalur hijau masih perlu diketahui oleh berbagai pihak baik pengguna jasa maupun pihak-pihak lain yang ikut trpengaruh di dalamnya.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka kami mencoba mengemukakan permasalahan-permasalahan dalam dalam pengawasan barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut yang ada di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A1 Soekarno –Hatta.
Adapun permasalah yang timbul adalah adanya perbedaan-perbedaan kriteria penetapan jalur merah dan jalur hijau terhadap barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut, sehingga memperlambat kelancaran arus lali lintas barang penumpang dan awak sarana pengangkut.
B. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi sebagai persyaratan kelulusan Dikiat Teknis Substantif Dasar I Kepabeanan dan Cukai Tahun Anggaran 2007.
2. Membuat suatu gambaran tentang penetapan jalur pabean oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A1 Soekarno-Hatta terhadap barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut di Bandara lnternasional Soekarno-Hatta dan sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan pengawasan dan pelayanan dalam bidang pengawasan jalur.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif yaitu dengan membandingkan teori dan fakta yang memaparkan hasil observasi yang dilakukan dengan cara melihat secara langsung keadaan yang terjadi di lapangan, serta melakukan wawancara dan tanya jawab dengan petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Al Soekamo-Hatta. Serta meneliti bahan-bahan kepustakaan berupa peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan tulisan ini.
D. Sistematika Pembahasan
Penulisan karya tulis mi secara singkat disusun sebagai berikut


Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar
rencana dapat diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk menjaga agar organisasi itu dapat
mencapai tujuannya mutlak diperlukan pengawasan. Pengawasan berfungsi menjaga agar
seluruh jajaran berjalan di atas rel yang benar.
Pengawasan dapat dilakukan dari jauh maupun dari dekat. Pengawasan dari
jauh disebut pemantauan atau monitoring ini dapat dilakukan menggunakan sarana telepon,
fax, atau radio. Wujud pengawasan cara ini adalah permintaan laporan kepada bawahan dan
jawaban dari bawahan atas permintaan tersebut. Jika pengawasan dari jauh tidak efektif
dapat dilakukan pengawasan langsung ke obyeknya. Dalam hal ini pengawasan yang
dilakukan disebut sebagai pemeriksaan yang berarti pemeriksa berhadapan langsung
dengan obyek yang diperlukan.
Yang menjadi acuan kegiatan pengawasan adalah rencana, program kerja,
prosedur atau petunjuk pelaksanaan yang pada umumnya dituangkan dalam bentuk
perundang-undangan baik itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen dan sebagainya. Bahwa Bea Cukai harus memungut
bea masuk atas suatu jenis barang impor dengan suatu tarif tertentu pada hakikatnya adalah
suatu rencana yang dituangkan dalam perundang-undangan. Demikian pula tata cara
pemeriksaan barang impor berdasarkan prosedur atau petunjuk pelaksanaan tertentu yang
dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri atau Surat Keputusan Direktur Jenderal pada
hakikatnya adalah untuk mengamankan rencana yang telah ditetapkan. Tata cara penetapan
harga, tarif, pemeriksaan barang, patroli dan pemeriksaan kapal dimaksudkan agar rencana
yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan efektif (mencapai sasaran yang
ditetapkan).
Pengawasan bekerja dengan memakai semua undang-undang, prosedur dan
tatacara yang telah ditetapkan sebagai tolok ukur atau pembanding untuk mengetahui
apakah pelaksanaan kegiatan pokok organisasi itu telah berjalan dengan baik. Pengawasan
bekerja pada saat pelaksanaan tugas pokok organisasi sedang berlangsung dan diharapkan
segera bisa mengoreksi pelaksanaan kegiatan apabila diketahui ada penyimpangan.
Penyimpangan di sini berarti ada kegiatan pelaksanaan tugas yang tidak sesuai dengan
undang-undang, prosedur atau juklak yang ditetapkan yang kalau tidak dikoreksi akan
menyebabkan organisasi akan menyimpang makin jauh dari tujuannya. Contoh klasik dari
penyimpangan misalnya barang yang seharusnya dikenakan bea masuk 20 % tetapi
dipungut hanya 10 % atau pemeriksaan barang yang tidak teliti sehingga mengakibatkan
bea masuk menjadi lebih kecil.
Pada umumnya para ilmuwan membedakan kegiatan pengawasan dengan
evaluasi. Jika pengawasan dilakukan dengan pada saat kegiatan berlangsung maka
evaluasi dilakukan setelah kegiatan selesai namun di dalam prakteknya kedua kegiatan ini
hampir sama bentuknya karena setiap kegiatan pengawasan pasti akan terkait dengan
evaluasi dan setiap kegiatan evaluasi pasti mengandung aspek pengawasan.
Jika kita sepakati pengertian pengawasan adalah kegiatan untuk menjaga
agar semua peraturan dipenuhi atau dijalankan, maka sebenarnya kegiatan ini harus
dilaksanakan oleh semua orang dalam organisasi. Petugas Bea Cukai yang meneliti
dokumen pada hakekatnya sedang melakukan pengawasan sebab ia meneliti apakah
importir memberitahukan tarif pos dengan benar sesuai peraturan tentang klasifikasi atau
memberitahukan harga barang dengan benar sesuai peraturan tentang penetapan harga.
Demikian juga petugas yang melakukan pemeriksaan barang impor pada hakikatnya
melakukan pengawasan karena ia meneliti apakah importir memberitahukan jumlah dan
jenis barang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Selama ini yang dianggap pengawasan adalah orang mengawasi orang
misalnya kegiatan seorang petugas Bea Cukai yang mengawasi petugas lainnya yang
sedang memeriksa barang atau petugas Inspektorat Jenderal meneliti hasil pekerjaan
petugas Bea Cukai. Petugas Bea Cukai yang meneliti dokumen juga melakukan
pengawasan tetapi yang diawasi bukan petugas Bea Cukai melainkan importir atau eksportir
yang mengajukan dokumen.
Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-32/KMK.01/1998
tanggal 4 Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai terjadi perubahan tugas dan fungsi dimana Kantor Wilayah mempunyai fungsi operasi
pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan, penindakan dan penyidikan yang
tidak dimiliki oleh Kantor Pelayanan. Dengan kata lain dinyatakan bahwa fungsi pengawasan
berada di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan hanya berfungsi pelayanan. Dalam hal ini
muncul pertanyaan apakah dengan demikian di Kantor Pelayanan Bea Cukai tiadak
dimungkinkan adanya operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan,
penindakan dan penyidikan.



II. PENGAWASAN PABEAN
Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan Pabean adalah memastikan
semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang
melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan prosedur
pabean yang ditetapkan (lihat Colin Vassarotti, “Risk Management – A Customs
Prespective”, hal.19). Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, kapal dan orang
yang keluar/masuk dari dan ke suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan.
Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan
pabean meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam
perundang-undangannya yaitu memeriksa kapal, barang, penumpang, dokumen,
pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan, penyegelan, dan lain-lain.
Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World
Customs Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu
metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul
WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung
pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan :
penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Di samping tiga kegiatan itu
menurut hemat penulis patroli juga merupakan pengawasan Bea Cukai untuk mencegah
penyelundupan.
Jika kita lihat uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tidak
nampak adanya fungsi pencegahan pelanggaran, penindakan dan penyidikan tetapi kalau
dilihat pada fungsi seksi-seksi di dalamnya nampak ada fungsi patroli, pemeriksaan kapal,
periksaaan barang, pemeriksaan badan, penelitian dokumen dan sebagainya yang
merupakan kegiatan pengawasan (Customs Control) menurut terminologi WCO.
Apabila kita meninjau dari kegiatan kepabeanan mulai dari saat kedatangan
kapal atau penumpang, pembongkaran barang, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang
atau penumpang, nampaklah bahwa fungsi-fungsi yang dimiliki seksi-seksi di dalam Kantor
Pelayanan telah dapat melaksanakan sebagian fungsi pengawasan. Petugas Kantor
Pelayanan berwenang melakukan pengawasan pembongkaran, penelitian dokumen,
pemeriksaan barang dan pemeriksaan penumpang. Yang tidak dapat dilaksanakan hanyalah
kegiatan audit pasca impor, penindakan dan penyidikan karena ketiga kegiatan ini tidak
tercantum dalam uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan maupun seksi-seksi di
dalamnya.
Kegiatan penindakan dan penyidikan sebenarnya merupakan tindak lanjut
dari pengawasan pabean. Pengawasan pabean yang dilakukan melalui penelitian dokumen,
pemeriksaan fisik, audit pasca-impor, maupun patroli jika menemukan adanya pelanggaran
atau tindak pidana akan ditindaklanjuti dengan penindakan atau bahkan penyidikan.
Penelitian dokumen atau audit yang menemukan dokumen palsu akan segera ditindaklanjuti
dengan penyidikan. Demikian juga apabila dalam pemeriksaan fisik ditemukan barang
terlarang akan ditindaklanjuti dengan penyidikan.
Jika petugas Bea Cukai di Kantor Pelayanan tidak mempunyai wewenang
melakukan penindakan akan timbul masalah apabila dalam tugasnya ia menemukan
pelanggaran misalnya menemukan adanya pembawa uang rupiah dalam jumlah lebih dari
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Petugas Bea Cukai yang menemukan pelanggaran
akan melakukan penegahan atau penyegelan, tetapi kalau tidak mempunyai wewenang
untuk itu akan menimbulkan keadaan vakum menunggu petugas dari Kantor Wilayah.
Kegiatan Bea cukai merupakan satu mata rantai yang tidak terputus mulai dari
kedatangan kapal, penyerahan pemberitahuan, penelitian dokumen, pemeriksaan barang
sampai dengan pengeluaran barang. Demikian pula apabila petugas menemukan
pelanggaran pada pemeriksaan barang harus ditindaklanjuti dengan penindakan atau
penyidikan. Jika ada petugas yang menemukan narkotika dalam koper penumpang harus
segera ditindaklanjuti dengan penyidikan. Jika wewenang penyidikan hanya diberikan
kepada Kantor Wilayah akan menyebabkan terhambatnya proses penyidikan.
Memberikan wewenang pemeriksaan terhadap petugas Kantor Pelayanan
tetapi tidak memberikan wewenang tindak lanjut berupa penindakan atau penyidikan seperti
membuat segmentasi atau pengkotak-kotakan tugas yang akan menghambat pelaksanaan
tugas dan fungsi Bea Cukai. Meskipun dalam tugas dan fungsi Kantor Pelayanan tidak
disebutkan secara tersurat adanya wewenang penindakan dan penyidikan bahkan unit kerja
penindakan dan penyidikan juga tidak ada namun kedua kegiatan ini harus tetap dapat
dilaksanakan di situ karena merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan barang.
Di kantor-kantor pelayanan saat ini terdapat juga Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) yang berwenang melakukan penyidikan. Kalau mereka tidak difungsikan karena
fungsi penyidikan tidak ada dalam struktur organisasi Kantor Pelayanan akan menimbulkan
kesulitan kalau terjadi tindak pidana dan harus mendatangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
dari Kantor Wilayah.
Dalam Undang-Undang Kepabeanan diatur wewenang Pejabat Bea dan
Cukai mulai dari pasal 74 sampai dengan pasal 92 yang antara lain berisi wewenang
penindakan dan pasal 112 tentang wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai.
Jika wewenang-wewenang itu tidak dapat dijalankan oleh petugas Kantor Pelayanan akan
menyebabkan hambatan dalam tugas pokok Bea dan Cukai.
Pada Kantor Pelayanan terdapat seksi Kepabeanan yang menyelenggarakan
fungsi pemeriksaan barang, mengoperasikan X-Ray, pemeriksaan badan, menetapkan
klasifikasi barang, tarif bea masuk dan nilai pabean, penelitian kebenaran, penghitungan bea
masuk. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pengawasan pabean, meskipun nama unit
kerjanya bukan Seksi Pengawasan, Seksi Operasi, atau Seksi Pemberantasan
Penyelundupan.
Tugas yang dilakukan Seksi Kepabeanan yaitu pemeriksaan barang,
pemeriksaan badan, penelitian tarif bea masuk dan nilai pabean pada hakekatnya adalah
pengawasan dalam pengertian manajemen yaitu upaya menjaga agar semua kegiatan
dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan memeriksa barang,
mencocokkan apakah semua barang yang diimpor telah diberitahukan dengan benar atau
apakah tarif dan harganya telah diberitahukan dengan benar. Benar di sini adalah sesuai
dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku mengenai pemberitahuan impor.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan ini tidak
berbeda dengan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.
Aparat pengawasan seperti Inspektorat Jenderal atau Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam melaksanakan tugasnya akan mencocokkan
apakah peraturan yang berlaku telah dilaksanakan oleh petugas di lapangan. Dipandang dari
sudut ini apa yang dilakukan oleh petugas Inspektorat Jenderal atau Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sama saja dengan petugas pemeriksa barang atau
dokumen di Kantor Pelayanan.

III. ORGANISASI DAN TATAKERJA
Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 32/KMK.01/1998 tanggal
4 Pebruari 1998 disebutkan bahwa salah satu fungsi Kantor Wilayah adalah pelaksanaan
intelijen, patroli dan operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan,
penindakan dan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai, serta
pengawasan barang hasil penindakan dan barang bukti. Dalam organisasi dan Tatakerja
Ditjen Bea dan Cukai yang lama menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
759/KMK.01/1993 tanggal 3 Agustus 1993 untuk bidang kegiatan pencegahan dan
penyidikan hanya disebutkan adanya fungsi koordinasi dan pengendalian pelaksanaan
kegiatan pencegahan dan penyidikan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan
pabean dan cukai serta peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaanya
dibebankan kepada Direktorat Jenderal. Perbedaannya adalah bahwa sekarang Kantor
Wilayah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi pencegahan
sedangkan pada operasi lama Kantor Wilayah hanya menyelenggarakan fungsi koordinasi
dan pengendalian pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penyidikan. Sebaliknya pada
organisasi yang baru Kantor Pelayanan tidak mempunyai fungsi pelaksanaan intelijen, patroli
dan operasi pencegahan pelanggaran seperti pada kantor Inspeksi dalam organisasi dan
tatakerja yang lama. Pada organisasi yang lama sering dikatakan bahwa Kantor Wilayah
tidak operasional karena tugasnya adalah koordinasi dan pengendalian. Memang benar
pada waktu itu Kantor Wilayah tidak operasional dalam pengertian day-to-day-operations
seperti memungut bea masuk dan memeriksa barang impor namun sebagai kantor yang
melakukan pengendalian tidak tertutup kemungkinan melakukan intervensi ke Kantor
Inspeksi sewaktu-waktu apabila dianggap perlu oleh Kepala Kantor wilayah. Hal ini
berdasarkan wewenang Kepala Kantor Wilayah sebagai atasan langsung Kepala Kantor
Inspeksi untuk melakukan pengawasan melekat. Kepala Kantor Wilayah dapat menunjuk
pegawai-pegawai di Kantor Wilayah untuk melakukan pemeriksaan barang di Kantor
Inspeksi apabila ia menganggap terjadi penyimpangan terhadap undang-undang atau
peraturan yang berlaku karena kolusi di kantor tersebut. Kepala Kantor Wilayah yang sudah
memberikan informasi untuk ditindaklanjuti tetapi tidak menghasilkan temuan oleh Kantor
Inspeksi tentu akan mengirim sendiri petugas-petugas di Kantor Wilayah untuk langsung
mengadakan pemeriksaan.
Jika kita berpegang pada definisi pengawasan adalah kegiatan untuk
mencegah penyimpangan yang terjadi maka dikirimkannya petugas Kantor Wilayah untuk
memeriksa barang di Kantor Inspeksi itu merupakan konsekuensi logis bagi atasan yang
wajib mengawasi bawahan karena Kantor Inspeksi dianggap sudah tidak mampu lagi
melakukan tugas pengawasan. Tugas dan peranan tim yang dikirim ke Kantor Inspeksi sama
saja dengan aparat pengawasan fungsional seperti Inspektorat Jenderal atau BPKP yang
memeriksa kegiatan suatu kantor. Perbedaanya di sini adalah tim yang dikirim oleh Kanwil
atau Kantor Pusat mencakup aspek pencegahan misalnya mencegat kapal yang sedang
dalam perjalanan sedangkan tim pengawasan fungsional Itjen atau BPKP biasanya
memeriksa kegiatan yang sudah lewat.
Dalam organisasi yang lama, baik Kantor Wilayah yang berfungsi koordinasi
dan pengendalian maupun Kantor Pusat yang fungsinya adalah perumusan kebijaksanaan,
pembinaan atau pengendalian di bidang pencegahan, patroli, dan penyidikan tetapi karena
mempunyai fungsi pengawasan melekat terhadap kinerja Kantor Inspeksi dapat
mengirimkan tim untuk pencegahan di Kantor Inspeksi bawahannya. Pengiriman tim ini
sifatnya sewaktu-waktu jika dipandang perlu dan merupakan supervisi dari atasan kepada
bawahan. Bentuk pengawasan ini tidak bersifat day-to-day-operations karena tempat
kedudukan Kantor Pusat dan Kantor wilayah tidak berada di pelabuhan dimana barang
impor diproses.
Dengan struktur organisasi yang baru, kita mencoba memisahkan kegiatan
pelayanan dan pengawasan dimana tugas pelayanan dilakukan di Kantor Pelayanan dan
tugas pengawasan dilakukan oleh Kantor Wilayah. Dalam uraian tugas dan fungsi Kantor
Pelayanan tidak disebutkan adanya fungsi pencegahan, penindakan, penyidikan, verifikasi,
dan audit. Tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan oleh Kantor Wilayah.
Struktur organisasi yang baru ini mengacu kepada organisasi Direktorat
Jenderal Pajak yang memisahkan antara Kantor Pelayanan dan Kantor Pemeriksaan. Untuk
Direktorat Jenderal Pajak, pemisahan ini tidak menimbulkan masalah karena sifat
pemeriksaan di situ dilakukan terhadap proses yang sudah selesai. Pemeriksaan pajak yang
dilakukan pada tahun ini sasarannya adalah pembukuan dan pajak tahun lalu jadi tidak
mengandung aspek pencegahan. Bentuk pengawasan ini sama dengan fungsi audit yang
dilakukan oleh Kantor Pusat atau Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
sasarannya adalah pembukuan untuk tahun yang lalu.
Kendala yang mungkin muncul dalam pelaksanaan struktur organisasi baru ini
adalah karena pelayanan dan pengawasan dalam tugas Bea dan Cukai itu sulit dipisahkan.
Hal ini disebabkan karena tugas Bea dan Cukai mengandung aspek pencegahan. Bea dan
Cukai mempunyai fungsi patroli untuk mencegah pelanggaran tetapi instansi pajak tidak
memiliki fungsi ini. Pemeriksaan barang di pelabuhan adalah upaya pencegahan (preventif)
agar tidak terjadi pelanggaran, demikian pula penelitian dokumen sebelum barang diizinkan
keluar dari pelabuhan.
Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan yang melakukan penelitian
dokumen berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi penelitian dokumen itu
juga sekaligus suatu pengawasan pabean (Customs Control). Penelitian dokumen ini dapat
saja menghasilkan temuan yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan fisik yang
merupakan kegiatan pencegahan.
Petugas seksi kepabeanan yang melakukan pemeriksaan bagasi
kemungkinan menemukan narkotika atau psikotropika yang harus ditindaklanjuti dengan
penengahan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pelayanan Bea dan Cukai terkait
dengan tugas pengawasan.
Dalam organisasi yang baru tugas pencegahan, penindakan dan penyidikan
ini harus dilaksanakan terutama oleh Kantor Wilayah. Hal ini nampak dari adanya fungsi
pelaksanaan intelejen, patroli, dan operasi pencegahan pelanggaran, penindakan, serta
penyidikan yang tidak dimiliki oleh Kantor Pelayanan. Bidang Pencegahan dan Penyidikan
pada Kantor Wilayah diharapkan dapat melakukan day-to-day-opretions (terus-menerus)
dalam bidang pencegahan penindakan dan penyidikan.
Bidang Pencegahan dan Penyidikan bertugas melakukan kegiatan intelijen
mulai dari pengumpulan informasi, pengolahan, dan pengambilan keputusan untuk
melakukan pemeriksaan, pencegahan, penindakan ataupun penyidikan. Apabila kita melihat
lingkup tugas Bea dan Cukai sebenarnya informasi terbanyak yang digunakan untuk
pengawasan pabean adalah informasi yang ada di Kantor Pelayanan. Informasi yang
umumnya dipakai untuk kegiatan pengawasan berada di dalam dokumen Airway Bill (AWB),
Bill of Lading (B/L), manifest, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB), Invoice, Polis Asuransi, Certificate of Origin, Letter of Credit (L/C), profit
importir, data pemeriksaan kapal, data kapal, data Pengusaha Pengurusan Jasa
Kepabeanan, dan sebagainya yang berada di Kantor Pelayanan karena data tersebut
berada dalam dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Bea dan Cukai dalam
rangka pelayanan. Sebaliknya data tersebut sulit diperoleh di Kantor Wilayah karena Kantor
Wilayah tidak melakukan pelayanan impor dan ekspor. Kantor Wilayah hanya bisa
memperoleh data tersebut apabila dikirim ke Kantor Pelayanan. Untuk bisa melakukan
pengawasan Kantor Wilayah harus mempunyai informasi yang cukup, sedangkan informasi
yang diperlukan ini justru berada di Kantor Pelayanan.
Sebenarnya Kantor Pelayanan adalah institusi yang paling efektif untuk
mendeteksi dan mencegah adanya pelanggaran atau penyelundupan karena menguasai
informasi yang banyak. Informasi tentang muatan kapal, jumlah, dan jenisnya, importir dan
eksportir semua ada pada Kantor Pelayanan. Petugas Kantor Pelayanan juga melihat dan
mengawasi langsung penimbunan atau pemuatan dan dapat mendeteksi adanya
kejanggalan yang merupakan indikator adanya pelanggaran. Hal-hal seperti ini hanya dapat
dilakukan oleh Kantor Wilayah jika informasi tentang muatan kapal dan barang impor/ekspor
dapat ditransfer secara elektronik dari Kantor Pelayanan ke Kantor Wilayah.
Namun informasi yang diperoleh dari pengolahan dokumen ini juga tidak
cukup untuk dapat melakukan pengawasan dengan efektif. Masih diperlukan adanya
informasi dari lapangan secara terus menerus mulai dari kapal datang, saat pembongkaran,
saat penimbunan, dan seterusnya. Ini berarti Kantor Wilayah harus menempatkan orang di
pelabuhan secara terus-menerus sesuai dengan hakikat day–to-day-operations. Jika Kantor
Wilayah berada pada satu kota dengan Kantor Pelayanan, kegiatan ini dapat dilaksanakan
tetapi jika Kantor Wilayah tidak berada dalam satu kota dengan Kantor Pelayanan, day-today-
operations tidak dapat dijalankan karena biayanya sangat besar. Diperlukan banyak
pegawai dan dana perjalanan dinas yang cukup besar untuk melaksanakan hal ini.
Informasi yang mungkin diperoleh di Kantor Wilayah hanyalah informasi yang
berasal dari informan atau laporan masyarakat tentang pengimporan suatu party barang
yang merugikan negara. Mengenai hal inipun sebenarnya yang menguasai detail dari
informasinya juga petugas-petugas Kantor Pelayanan karena mereka mengetahui semua
kegiatan Impor yang ada di situ dan paling mengetahui kalau ada
kejanggalan/penyimpangan yang terjadi.
Informasi dari masyarakat itu biasanya menyangkut kolusi antara petugas dan
pengusaha yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kantor Wilayah dengan menurunkan tim
untuk mengusut. Tim inipun hanya bisa bekerja kalau mempunyai informasi yang cukup
tentang pengimporan barang.
Informasi tentang kegiatan impor ini tersedia di Kantor Pelayanan dan
sebenarnya petugas-petugas di Kantor Pelayanan yang lebih mengetahui permasalahannya
dibandingkan dengan petugas yang dikirim dari Kantor Wilayah. Jika party barang yang
diinformasikan itu belum tiba di pelabuhan tindakan pencegahan dapat dilakukan tetapi
pencegahan ini kadang-kadang tidak menghasilkan tangkapan misalnya karena
pengimporan dibatalkan, barang tidak jadi dibongkar atau diperbaiki dari semua ketentuan
dipenuhi. Memang tidak semua penegakkan hukum menghasilkan tangkapan tetapi apabila
pelaku pelanggaran mengurungkan niatnya saja sudah merupakan keberhasilan dari
penegakan hukum sebab semua aturan telah dipenuhi dan tidak terjadi pelanggaran.
Informasi tentang penyelundupan narkotik dari Drugs Enforcement Administration (DEA) saja
kemungkinan tidak menghasilkan tangkapan kalau pelakunya membatalkan diri.
Dari seluruh kegiatan pengawasan pabean hanyalah audit pasca-impor yang
dapat dilaksanakan dengan efektif oleh Kantor Wilayah karena audit tidak bersifat mencegah
pelanggaran yang akan terjadi, tetapi memeriksa kegiatan yang sudah selesai. Meskipun
demikian audit dapat mempunyai efek pencegahan apabila dikenakan hukuman yang berat
dalam hal ditemukan penyimpangan. Hukuman atau sanksi yang diberikan diharapkan
membuat jera pelakunya sehingga dikemudian hari tidak melakukan pelanggaran lagi.
Jika dilihat dari banyaknya importir/eksportir yang melakukan kegiatan
tentunya tidak seluruh perusahaan diaudit. Untuk menyeleksi perusahaan mana yang perlu
dilakukan audit juga diperlukan informasi dan informasi yang diperlukan ini tersedia di Kantor
Pelayanan. Sebab itu jika tidak ada transfer informasi dari Kantor Pelayanan ke Kantor
Wilayah akan sulit bagi Kantor Wilayah menentukan sasaran audit. Bagi administrasi pabean
di negara-negara maju yang sudah melaksanakan komputerusasi penuh tidak ada masalah
dalam mengakses informasi oleh Kantor Pusat maupun Kantor Wilayah. Pangkalan data di
Kantor Pusat maupun di Kantor Wilayah setiap saat dapat berhubungan (on line) dengan
pangkalan data di Kantor Pelayanan. Mereka secara terus menerus dapat memantau
kegiatan impor/ekspor yang terjadi di seluruh Kantor Pelayanan dengan perkembangannya
tiap detik.
Bidang Pencegahan dan Penyidikan (P2) dan Bidang Audit yang menjalankan
fungsi pengawasan sangat memerlukan informasi tentang impor/ekspor untuk dapat
melakukan pencegahan atau mengadakan audit sebab sistem pemeriksaan kita sesuai
Undang-Undang Kepabeanan bersifat selektif. Audit mau tidak mau juga harus dilakukan
secara selektif karena jumlah perusahaan sangat banyak sedang jumlah auditor terbatas.
Untuk menyeleksi kita harus melalui proses risk assesment yang memerlukan banyak
informasi dan informasi ini berasal dari data impor di Kantor Pelayanan.
Sebaiknya kita memahami pemisahan antara fungsi pengawasan pada Kantor
Wilayah dan fungsi pelayanan pada Kantor Pelayanan ini hanya pada tataran filosofi saja
dan jangan memisah-misahkan kegiatan ini secara nyata. Kantor Pelayanan harus tetap
berfungsi pengawasan meskipun petugas-petugasnya harus lebih berorientasi melayani
masyarakat.
Pada tahun 1990, World Customs Organization (WCO) mengganti logonya
dengan gambar yang melambangkan dua tangan terbuka yang bermakna kerjasama atau
keterbukaan sedangkan logo yang lama bergambar mata sebagai simbol pengawasan.
Perubahan logo ini juga menandakan adanya perubahan orientasi yang semula Bea Cukai
kerjanya mengintip orang atau mencari kesalahan sekarang berubah menjadi instansi yang
membantu atau melayani orang. Perubahan ini tidak berarti bahwa Bea Cukai kehilangan
fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan Bea Cukai tetap di jalankan tetapi aspek
pelayanannya yang lebih di tonjolkan. Menurut hemat penulis pergeseran fungsi
pengawasan ke Kantor Wilayah seharusnya di pahami berdasarkan pemikiran ini. Kantor
Pelayanan harus tetap dapat menjalankan fungsi pengawasan meskipun titik beratnya
adalah pelayanan.
Fungsi pengawasan di Kantor Pelayanan saat ini sebagian dilaksanakan oleh
Seksi Kepabeanan yang melakukan kegiatan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang,
pemeriksaan penumpang, dan Seksi Manifest dan Informasi yang melakukan patroli dan
pemeriksaan sarana pengangkut.








Pabean
Pabean yang dalam bahasa Inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi yang dapat kita temukan dan hafal baik dalam kamus bahasa Indonesia ataupun undang-undang kepabeanan. Untuk dapat memahami kata pabean maka diperlukan pemahaman terhadap kegiatan ekspor dan impor. Pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Akan tetapi tidak ada bea keluar untuk ekspor .
Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang impor. Sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah tidak memungut bea demi mendukung industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Produk mentah seperti beberapa jenis kayu, rotan dsb pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan ekspor dengan maksud agak para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi. Filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia.
Proses impor dan pabean
Kegiatan impor dapat dikatakan sebagai proses jual beli biasa antara penjual yang berada di luar negeri dan pembeli yang berada di Indonesia. Adapun tahapan impor adalah :
• Hal yang penting dalam setiap transaksi impor adalah terbitnya L/C atau letter of credit yang dibuka oleh pembeli di Indonesia melalui Bank (issuing bank)
• Selanjutnya penjual diluar negeri akan mendapatkan uang untuk harga barangnya dari bank dinegaranya (correspondent bank) setelah mengirim barang tersebut dan menyerahkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengiriman barang dan spesifikasi barang tersebut (bill of lading (BL), Invoicedsb).
• Dokumen-dokumen tersebut oleh correspondet bank dikirim ke issuing bank yang ada diIndonesia untuk di tebus oleh importir.
• Dokumen yang kini telah dipegang oleh importir tersebut digunakan untuk mengambil barang yang dikirim oleh penjual. pada tahap ini proses impor belum dapat dikatakan selesai karena importir belum mendapatkan barangnya.
• barang impor tersebut diangkut oleh sarana pengangkut berupa kapal-kapal pengangkut barang (cargo) internasional dan hanya akan merapat di pelabuhan-pelabuhan resmi pemerintah, misalnya Tanjung Priok (Jakarta) dimana sebagian besar kegiatan importasi di Indonesia dilakukan. banyak proses yang harus dilalui hingga akhirnya sebuah sarana pengangkut (kapal cargo) dapat merapat dipelabuhan dan membongkar muatannya (barang impor).
• Istilah "pembongkaran" bukanlah barang tersebut di bongkar dengan dibuka setiap kemasannya, namun itu hanya istilah pengeluaran kontainer/peti kemas dari sarana pengangkut kepelabuhan, petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk pemeriksaan.)
• Setelah barang impor tersebut dibongkar maka akan ditempatkan ditempat penimbunan sementara (container yard) perlu diketahui bahwa menyimpan barang di kawasan ini dikenakan sewa atas penggunaan ruangnya (demorage).
• Setelah bank menerima dokumen-dokumen impor dari bank corresponden di negara pengekspor maka importir harus mengambil dokumen-dokumen tersebut dengan membayar L/C yang telah ia buka. dengan kata lain importir harus menebus dokumen tersebut karena bank telah menalangi importir ketika bank membayar eksportir saat menyerahkan dokumen tersebut.
• Setelah selesai urusan dokumen tersebut maka kini saatnya importir mengambil barang tersebut dengan dokumen yang telah importir peroleh dari bank (B/L, invoice dll).
• Untuk mengambil barangnya maka importir diwajibkan membuat pemberitahuan impor barang (PIB) atau disebut sebagai pemberitahuan pabean atau dokumen pabean sedangkan invoice, B/L, COO (certificate of origin), disebut sebagai dokumen pelengkap pabean. Tanpa PIB maka barang impor tersebut tidak dapat diambil oleh importir.
• PIB dibuat setelah importir memiliki dokumen pelengkap pabean seperti B/L dll. Importir mengambil dokumen tersebut melalui bank, maka jika bank tersebut merupakan bank devisa yang telah on-line dengan komputer DJBC maka pengurusan PIB dapat dilakukan di bank tersebut.
• Prinsip perpajakan di Indonesia adalah self assesment begitu pula dalam proses pembuatan PIB ini, formulir PIB terdapat pada bank yang telah on-line dengan komputer DJBC setelah diisi dan membayar bea masuk kepada bank maka importir tinggal menunggu barangnya tiba untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan kepada DJBC khususnya kepada kantor pelayanan DJBC dimana barang tersebut berada dalam wilayah pelayanannya, untuk pelabuhan tanjung priok terdapat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok.
• Setelah importir menyelesaikan PIB dan membayar bea masuk serta (pungutan impor) pajak-pajak dalam rangka impor di bank, maka bank akan memberitahukan kepada DJBC secara on-line mengenai pengurusan PIB dan pelunasan bea masuk dan pajak impor. dalam tahap ini DJBC hanya tinggal menunggu importir menyerahkan PIB untuk diproses, penyerahan PIB inipun telah berkembang sedemikian rupa hingga untuk importir yang telah memiliki modul impor atau telah terhubung dengan sistem komputer DJBC dapat menyerahkan PIB secara elekronik (electronic data interchange system = EDI system) sehingga dalam prosesnya tak terdapat interaksi secara fisik antara importir dengan petugas DJBC




Sistem Penetapan Nilai Pabean
DJBC, Penetapan Nilai Pabean Barang Impor untuk penghitungan Bea Masuk menggunakan 6 metode yang diterapkan secara hirarki penggunaannya, yaitu:
1. Metode I berdasarkan pada nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan
2. Metode II berdasarkan pada nilai transaksi barang identik
3. Metode III berdasarkan pada nilai transaksi barang serupa
4. Metode IV berdasarkan metode deduksi
5. Metode V berdasarkan metode komputatif
6. Metode VI berdasarkan data yang tersedia di Daerah Pabean
II. METODE I PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN NILAI TRANSAKSI BARANG IMPOR YANG BERSANGKUTAN
1. Nilai Transaksi adalah: Harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar dari barang yang dijual untuk diekspor ke Daerah Pabean ditambah dengan biaya-biaya tertentu, sepanjang biaya-biaya tersebut dalam harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar.
2. Syarat penggunaan Nilai Transaksi
a. Tidak terdapat pembatasan atas pemanfaatan atau pemakaian barang impor
b. Tidak terdapat persyaratan atas pembelian yang mempengaruhi harga barang impor
c. Tidak terdapat bagian dari hasil atas penjualan ulang, pemanfaatan/pemakaian (Proceed)
d. Tidak terdapat hubungan antara importir dan eksportir yang mempengaruhi harga
3. Persyaratan kualitatif yaitu dengan menambahkan pada harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar dengan :
a. Biaya yang dibayar oleh importir yang belum tercantum dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar, berupa
 Komisi dan jasa perantara kecuali komisi pembelian
 Biaya pengemasan
 Biaya pengepakan
b. Nilai bantuan berupa barang dan jasa, yaitu:
 Material, komponen, bagian dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam barang-barang impor
 peralatan, cetakan dan barang-barang sejenis yang digunakan untuk pembuatan barang impor
 Material yang digunakan dalam pembuatan barang impor
 Tehnik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan dan sketsa yang dilakukan dimana saja diluar daerah pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor
c. Royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh importir secara langsung atau tidak langsung
d. Bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh importir atas penjualan, pemanfaatan atau pemakaian barang impor yang kemudian disampaikan secara langsung dan tidak langsung kepada eksportir
e. Biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke pelabuhan atau tempat impor didaerah pabean
f. Biaya pemuatan, pembongkaran dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat impor di Daerah Pabean
g. Biaya asuransi
4. Nilai Transaksi tidak dapat digunakan sebagai Nilai Pabean dalam hal:
a. Terdapat persyaratan atau pertimbangan yang diberlakukan terhadap jual beli atau harga barang impor yang mempengaruhi harga barang yang bersangkutan
b. Terdapat bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh importir atas penjualan,pemanfaatan atau pemakaian barang impor, kemudian disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada eksportir yang tidak ditambahkan pada harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar
c. Terdapat hubungan antara importir dan eksportir yang mempengaruhi harga
d. Terdapat pembatasan atas pemanfaatan atau pemakaian barang impor selain pembatasan yang:
 diberlakukan atau diharuskan oleh Undang-Undang atau pihak-pihak yang berwenang di Daerah Pabean
 membatasi wilayah geografis untuk penjualan kembali barang tersebut
 tidak mempengaruhi nilai secara substansial
III. METODE II PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN NILAI TRANSAKSI BARANG IDENTIK
1. Barang identik adalah barang yang sama dalam segala hal termasuk karakteristik fisik, mutu, reputasi, perbedaan-perbedaan kecil antara dua barang identik dapat ditolerir, seperti garis melingkar, logo dengan warna yang berbeda atau hiasan ditempat tertentu yang sederhana.
2. Syarat-syarat menggunakan metode barang identik adalah :
a. Tanggal pengeksporan yang sama atau sekitar tanggal pengeksporan dari barang yang sedang ditetapkan Nilai Pabeannya
b. Diproduksi oleh produsen yang sama dari negara yang sama atau diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama
c. Tingkat perdagangan dan jumlah barang sama apabila ada perbedaan maka dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan bukti yang nyata, penyesuaian juga dapat dilakukan terhadap biaya transportasi
d. Apabila terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang identik maka nilai yang digunakan adalah Nilai Transaksi barang identik yang paling rendah yang tersedia dalam waktu tiga puluh hari sebelum atau sesudah bulan pengiriman
IV. METODE III PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN NILAI TRANSAKSI BARANG SERUPA
1. Barang serupa adalah barang yang walaupun tidak sama dalam segala hal namun mempunyai karakter fisik dan komponen material yang sama, fungsi sama dan secara komersial dapat dipertukarkan
2. Syarat-syarat menggunakan metode barang serupa
a. Tanggal pengeksporan yang sama atau sekitar tanggal pengeksporan dari barang yang sedang ditetapkan Nilai Pabeannya
b. Diproduksi oleh produsen yang sama dari negara yang sama atau diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama
c. Tingkat perdagangan dan jumlah barang sama apabila ada perbedaan maka dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan bukti yang nyata, penyesuaian juga dapat dilakukan terhadap biaya transportasi
d. Apabila terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang serupa maka nilai yang digunakan adalah Nilai Transaksi barang serupa yang paling rendah
V. METODE IV PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN METODE DEDUKSI
1. Metode Deduksi adalah penetapan Nilai Pabean barang impor berdasarkan data harga satuan yang terjadi dari penjualan dipasaran dalam daerah pabean dari barang impor yang bersangkutan atau barang identik atau barang serupa dengan kondisi sebagaimana saat diimpor.
2. Syarat penggunaan Metode Deduksi
a. Penjual dan pembeli tidak saling berhubungan
b. Harga satuan yang digunakan adalah harga satuan dari barang impor yang bersangkutan, barang identik, barang serupa yang laku terjual dalam jumlah terbanyak
c. Pengimporan terjadi pada tanggal yang sama atau sekitar tanggal yang sama paling lama 90 (sembilan puluh hari) setelah tanggal pengimporan
3. Penghitungan metoda Deduktif dapat dilakukan dengan cara mengurangi harga satuan dengan
a. Komisi atau keuntungan dan pengeluaran umum atas penjualan barang impor yang bersangkutan
b. Biaya transportasi/ angkutan dan biaya asuransi
c. Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor
4. Apabila tidak terdapat penjualan barang impor yang bersangkutan atau barang identik atau barang serupa dipasaran dalam kondisi yang sama pada saat di impor maka dapat digunakan barang dengan kondisi yang berbeda sepanjang dilakukan penyesuaian atas perbedaan kondisi tersebut.
VI. METODE V PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN METODE KOMPUTASI
1. Metode Komputasi adalah metode dengan cara menghitung sejumlah unsur biaya yang membentuk harga barang impor.
2. Unsur-unsur Biaya dalam metode komputasi yang dijumlahkan adalah :
a. Biaya atau harga bahan baku dan proses pembuatan yang dilakukan dalam memproduksi barang
b. Keuntungan dan pengeluaran umum yang besarnya sama atau mendekati dengan keuntungan dan pengeluaran umum penjualan barang sejenis
c. Biaya transportasi dari pelabuhan muat ke pelabuhan tujuan termasuk biaya pemuatan, pembongkaran dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan tujuan di daerah pabean
d. Biaya asuransi
3. Penetapan Nilai Pabean dengan menggunakan informasi yang diberikan produsen barang yang sedang ditetapkan Nilai Pabeannyaa dan data yang ada dalam pembukuan produsen yang disusun berdasarkan prinsip umum akuntansi yang berlaku dinegara produsen barang tersebut.
VII. METODE VI PENETAPAN NILAI PABEAN BERDASARKAN DATA YANG TERSEDIA
1. Metode data yang tersedia adalah menggunakan data yang tersedia dengan suatu penerapan yang fleksibel dan tata cara yang wajar serta konsisten.
2. Penetapan Nilai Pabean berdasarkan metode ini tidak diijinkan berdasarkan :
a. Harga jual di Daerah Pabean bagi barang yang diproduksi di Daerah Pabean
b. Sistem yang menetapkan nilai yang lebih tinggi apabila terdapat 2 (dua) alternatif nilai
c. Harga pasar dalam negara pengekspor
d. Biaya produksi, selain dari nilai yang dihitung dengan metode komputasi yang telah ditentukan untuk barang identik atau barang serupa
e. Harga barang yang diekspor kesuatu negara selain ke dalam Daerah Pabean
f. Nilai Pabean minimal
g. Nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang.
VIII. PROFESSIONAL JUDGEMENT (KEPUTUSAN BERDASARKAN PROFESI)
1. Professional Judgement adalah Identifikasi Nilai Pabean yang tercantum dalam PIB berdasarkan pengalaman, pengetahuan, keterampilan yang dituangkan dalam bentuk kemampuan analisa resiko untuk mengidentifikasi Nilai Pabean yang diragukan.
2. Cara pengujian professional judgement adalah dengan mempertimbangkan :
a. bahan baku
b. proses pembuatan (Hightech/sederhana)
c. mutu barang (murah/mahal)
d. musim saat transaksi jual beli
e. tujuan penggunaan barang

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea cukai adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan duane, seiring dengan globalisasi bea dan cukai mengenakan istilah CUSTOMS.
Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang direktur jenderal yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia, sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain.
Tugas dan fungsi
Tugas dan fungsi DJBC adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.
Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkohol atau etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.
Kewenangan DJBC
Sistem yang digunakan DJBC
Rencana kedepannya semua importasi akan diarahkan untuk menggunakan sistem ini karena pertimbangan keamanan dan efisiensi, sehingga bermunculan warung-warung EDI (semacam warnet khusus untuk mengurus importasi) disekitar pelabuhan yang akan membantu importir yang belum memiliki modul impor atau tidak secara on-line terhubung dengan sistem komputer DJBC.
proses pengeluaran barang impor sangat tergantung pada jenis barang impor itu sendiri, khusus untuk barang impor asal tumbuhan dan hewan akan melalui pemeriksaan karantina (masa karantina) ini penting untuk mencegah masuknya penyakit dan hal-hal yang tidak dinginkan dari segi kekarantinaan dan kesehatan seperti pemeriksaan layak konsumsi atau tidak, masa kadaluwarsa, dsb, untuk daging impor harus ada Certificate of origin agar diketahui dari mana asalnya, juga umumnya sertikat halal untuk komoditi konsumsi.
Sistem penjaluran
kiranya perlu pula diketahui sistem penjaluran barang yang diterapkan oleh DJBC dalam proses impor. Keempat jalur ini awalnya dikategorikan dengan penerapan manajemen risiko berdasarkan profil importir, jenis komoditi barang, track record dan informasi-informasi yang ada dalam data base intelejen DJBC. Sistem penjaluran juga telah menggunakan sistem otomasi sehingga sangat kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam menentukan jalur-jalur tersebut pada barang tertentu. terdapat 4 (empat) penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah memperkenalkan Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor Pelayanan Utama (KPU).
jalur tersebut adalah;
1. Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik, untuk importir jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan prioritas dari segi pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan sistem Post Clearance Audit (PCA) dan sesekali secara random oleh sistem komputer akan ditetapkan untuk dikenakan pemeriksaan fisik.
2. Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang.
3. Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang.
4. Jalur merah (red chanel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada importir baru, importir lama yang memiliki catatan-catatan khusus, importir dengan risiko tinggi karena track record yang tidak baik, jenis komoditi tertentu yang diawasi pemerintah, pengurusannya menggunakan jasa customs broker atau PPJK perusahaan pengurusan jasa kepabeanan dengan track record yang tidak baik ( "biro Jasa" atau "calo"), dlsb. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih intensif oleh karenanya diadakan pemeriksaan fisik barang. pemeriksaan fisik tersebut bisa 10%, 30% dan 100%.
• Jalur Mitra Utama (MITA), jalur ini adalah fasilitas yang saat ini hanya berada pada Kantor Pelayanan Utama.
Tugas lain
Tugas lain DJBC adalah menjalankan peraturan terkait ekspor dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain, seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan peraturan lembaga lainya.
Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi DJBC untuk melaksanakannya karena DJBC adalah instansi yang mengatur keluar masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan pengimpor dalam beraktivitas.



IV. TIPE PELANGGARAN DAN TERSEDIANYA INFORMASI
Pengawasan pabean adalah salah satu cara untuk mencegah dan
mendeteksi adanya pelanggaran. Pengawasan yang efektif memungkinkan Bea dan Cukai
mengurangi terjadinya pelanggaran.
Menurut WCO Hanbook for Comercial Fraud Investigators ada enambelas
tipe pelanggaran utama di Bidang kepabeanan yaitu :

1. Penyelundupan
Yang dimaksud dengan penyelundupan disini adalah menimpor atau mengekspor di luar
tempat kedudukan Bea dan Cukai atau mengimpor/mengekspor di tempat kedudukan
Bea dan Cukai tetapi dengan cara menyembunyikan barang dalam alas atau dinding
dinding palsu (concealment) atau di badan penumpang.

2. Uraian Barang Tidak Benar.
Uraian Barang Tidak Benar dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari bea masuk
yang rendah atau menghindari peraturan larangan dan pembatasan

3. Pelanggaran Nilai Barang.
Dapat terjadi nilai barang sengaja dibuat lebih rendah untuk menghindari bea masuk atau
sengaja dibuat lebih tinggi untuk memperoleh restitusi (draw-back) yang lebih besar.

4. Pelanggaran Negara Asal Barang.
Memberitahukan negara asal barang dengan tidak benar misalkan negara asal Jepang
diberitahukan Thailand dengan maksud memperoleh preferensi tarif di negara tujuan.

5. Pelanggaran Fasilitas Keringanan Bea Masuk Atas Barang Yang Diolah.
Yaitu tidak mengekspor barang yang diolah dari bahan impor yang memperoleh
keringanan bea masuk.

6. Pelanggaran Impor Sementara.
Tidak mengekspor barang seperti dalam keadaan semula.

7. Pelanggaran Perizinan Impor/Ekspor
Misalnya memperoleh izin mengimpor bibit bawang putih ternyata dijual ke pasaran
bebas sabagai barang komnsumsi.

8. Pelanggaran Transit Barang
Barang yang diberitahukan transit ternyata di impor untuk menghindari bea.

9. Pemberitahuan Jumlah Muatan Barang Tidak Benar.
Tujuannya agar dapat membayar bea masuk lebih rendah atau untuk menghindari kuota.

10. Pelanggaran Tujuan Pemakaian.
Misalnya memperoleh pembebasan bea masuk dalam rangka Penanaman Modal Asing
(PMA) tetapi dijual untuk pihak lain.

11. Pelanggaran Spesifikasi Barang Dan Perlindungan Konsumen.
Pemberitahuan barang yang menyesatkan untuk menghindari persyaratan dalam
Undang-Undang Spesifikasi Barang atau Perlindungan Konsumen.

12. Barang Melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Yaitu barang palsu atau bajakan yang diimpor disuatu negara atau diekspor dari suatu
negara.

13. Transaksi Gelap.
Transaksi yang tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan untuk menyembunyikan
kegiatan ilegal. Pelanggaran ini dapat diketahui dengan mengadakan audit ke
perusahaan yang bersangkutan.

14. Pelanggaran Pengembalian Bea.
Klaim palsu untuk memperoleh pengembalian bea/pajak dengan mengajukan dokumen
ekspor yang tidak benar.

15. Usaha Fiktif
Usaha fiktif diciptakan untuk mendapatkan keringanan pajak secara tidak sah.
Contohnya adalah perusahaan yang melakukan ekspor fiktif yang ternyata tidak
mempunyai pabrik dan alamat kantornya tidak dapat ditemukan.

16. Likuidasi Palsu.
Perusahaan beroperasi dalam periode singkat untuk meningkatkan pendapatan dengan
cara tidak membayar pajak. Kalau pajak terhutang sudah menumpuk kemudian
menyatakan bangkrut untuk menghindari pembayaran. Pemiliknya kemudian mendirikan
perusahaan baru. Di Indonesia praktek ini dipakai oleh Importir yang sudah sering
dikenakan tambah bayar supaya bisa memperoleh jalur hijau maka ia mendirikan
perusahaan baru.


Dari berbagai tipe pelanggaran di atas sebagian besar adalah pengimporan
atau pengeksporan di pelabuhan tempat pengawasan Bea dan Cukai. Untuk tipe
pelanggaran ini informasinya lebih banyak dan lebih mudah diperoleh dari dokumen
dokumen yang diajukan pada Bea dan Cukai Kantor Pelayanan, tetapi untuk penyelundupan
yang terjadi di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai informasinya harus dicari langsung di
lapangan.
Informasi untuk penyelundupan di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai
diperoleh melalui Surveillance dapat dilakukan oleh petugas di Kantor Pelayanan kalau
diberi wewenang untuk itu. Dalam organisasi dan tata kerja yang baru kegiatan intelijen
(pengumpulan dan pengolahan informasi) secara umum tidak dimungkinkan di Kantor
Pelayanan. Yang dimungkinkan hanya pengumpulan informasi muatan kapal yang tercantum
pada manifest. Tetapi fungsi patroli ada juga di Kantor Pelayanan dan untuk melaksanakan
kegiatan ini diperlukan pengumpulan informasi. Tanpa informasi yang diperoleh dengan baik,
patroli tidak terarah dan tidak tahu daerah rawan yang beresiko tinggi. Mau tidak mau
kegiatan Intelijen harus dilakukan juga di Kantor Pelayanan agar patroli berjalan efektif.
Kalau Intelijen (termasuk Surveillance) hanya dilakukan oleh petugas Kantor
Wilayah tidak akan efektif dan tidak mungkin bisa meliputi seluruh wilayah karena
terbatasnya jumlah petugas dan dana dibandingkan dengan luasnya wilayah. Secara teoritis
bisa secara rutin dikirim satuan tugas Surveillance dari Kantor Wilayah untuk mengumpulkan
dan mencari informasi ke seluruh wilayah tetapi secara teknis sulit kalau wilayahnya relatif
luas. Akan lebih mudah kalau kegiatan intelijen juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan karena
mereka berada didekat sumber informasi.
Penyelundupan narkotika dan psikotropika yang melalui pelabuhan laut/udara
ada yang informasinya diperoleh dari pihak luar negeri melalui Kantor Pusat dan ada yang
dideteksi dengan Profiling ataupun penggunaan X-Ray scanner. Dilihat dari prosentasenya
berdasarkan data yang tersedia lebih banyak tangkapan yang diperoleh dari Profilling dan
deteksi X-Ray dibandingkan yang berasal dari informasi yang sudah matang. Berarti dalam
hal inipun Kantor Pelayanan lebih banyak menguasai informasi dan melakukan deteksi
melalui pengamatan mereka sendiri terhadap gerak-gerik penumpang.
Tipe pelanggaran pemberitahuan yang tidak benar, penyalahgunaan fasilitas
Kepabeanan, pelanggaran perizinan impor dan sebagainya lebih mudah dideteksi melalui
dokumen impor/ekspor yang berada di Kantor Pelayanan Informasi tentang adanya
pelanggaran-pelanggaran tersebut bisa diperoleh jika kita mengolah informasi-informasi
dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Manifest,
Bill of Lading (B/L), Invoice, Packing List, data perusahaan, data kapal, data kontainer dan
lain-lain. Informasi ini sebagian besar berada di Kantor Pelayanna dan dapat digunakan
setiap saat.
Pada umumnya yang dianggap informasi bagi orang awam adalah
pemberitahuan dari seseorang atau badan secara tertulis atau lisan bahwa akan terjadi
penyelundupan yang dilakukan oleh seseorang. Informasi yang sudah matang ini di Bea
Cukai lazim disebut hasil intelijen atau intelijen positif. Sebenarnya informasi tidak hanya
sebatas yang sudah matang saja tetapi banyak informasi yang masih mentah berserakan
disana-sini berada dalam dokumen Pabean maupun dokumen pelengkapnya, informasi ini
kalau diolah juga akan menghasilkan informasi matang (intelijen positif) yang dapat
digunakan mendeteksi penyelundupan atau pelanggaran Kepabeanan.











V. KESIMPULAN
1. Pengawasan secara umum berarti kegiatan untuk menjaga agar rencana yang
telah dibuat dapat dilaksanakan dengan efektif. Pengertian ini hakikatnya sama
dengan definisi Colin Vassarotti mengenai pengawasan pabean yaitu suatu
kegiatan yang tujuannya memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat
terbang, kendaraan dan orang-orang yang melintas perbatasan negara berjalan
dalam kerangka hukum, peraturan, dan prosedur pabean yang telah ditetapkan.
Pengertian ini tidak sejalan dengan pengertian bentuk pengawasan yang
digunakan dalam buku-buku World Customs Organizations (WCO). Pengawasan
pabean antara lain adalah : Penelitian dokumen , pemeriksaan fisik dan audit
pasca-impor.

2. Untuk dapat melaksanakan pengawasan diperlukan informasi yang mencukupi
dan khusus untuk Bea dan Cukai informasi yang diperlukan itu sebagian besar
berada dalam dokumen pabean atau dokumen pelengkap pabean yang
diserahkan kepada Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan. Dengan demikian Kantor
Pelayanan mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan Kantor Wilayah
dalam penguasaan informasi ini dan lebih mudah melakukan pengawasan.

3. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No: 32/KMK.01/1998 tanggal 4
Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai titik berat fungsi pengawasan berada pada Kantor Pelayanan namun kalau
dilihat dari ketersediaannya informasi dan akses ke arah informasi Kantor
Pelayanan lebih potensial untuk melakukan pengawasan dalam pengertian dayto-
day-operations.

4. Fungsi pengawasan yang bersifat pencegahan (Preventif) oleh Kanto Wilayah
akan menghadapi kendala kurangnya informasi, jumlah tenaga dan biaya yang
harus dikeluarkan tetapi untuk pengawasan yang tidak bersifat pencegahan
misalnya verifikasi dan audit dapat dilakukan sepenuhnya.

5. Meskipun di dalam fungsi Kantor Pelayanan tidak tersebut adanya pencegahan,
penindakan dan penyidikan namun seyogyanya kegiatan ini tetap dapat
dilaksanakan di Kantor Pelayanan sebab kegiatan-kegiatan tersebut merupakan
tindak lanjut dari pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan
penumpang, hasil patroli.`

Saran
Penuli menyarankan perlunya lagi di perbaiki permasalahan Pabean yang ada di Indonesia ini. Perbaikan yang di maksud bisa melaui Hukum juga kesadaran bagi para seluruh anggota masyarakat yang terkait dalam dunia Kepabeanan di Indonesia. Pentingnya kerjasama dari semua pihak akan menjadikan Pabean di Indonesia menjadi lebih baik dan disiplin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar