Rabu, 10 Februari 2010

Eltriana (0806413891)
Travel 2008
Custome Immigration Quarantine (CIQ)
Tugas mandiri

1. Menkeu: Rumusan Penyelundupan Dalam UU Kepabeanan Tidak Tegas
Rumusan mengenai tindak pidana penyelundupan berdasar UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak jelas sehingga menjadi salah satu perhatian dalam RUU tentang Kepabeanan yang diajukan ke DPR.
"Rumusan tentang tindak pidana penyelundupan tidak tegas sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata Menteri Keuangan Jusuf Anwar di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (17/11).
Menkeu menyebutkan, Pasal 102 UU Nomor 10 tahun 1995 menyatakan: "barang siapa mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan UU ini dipidana karena melakukan penyelundupan.
Rumusan tersebut, jelas Menkeu, kurang tegas karena dalam penjelasan dinyatakan pengertian tanpa mengindahkan sama sekali tidak memperhatikan apakah sudah memenuhi ketentuan atau prosedur yang ada.
"Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai penyelundupan. Rumusan ini tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat," ujarnya.
Ia menyebutkan, RUU yang diajukan ke DPR sudah merumuskan secara tegas tentang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan untuk menghindari intepretasi yang berbeda yang dapat disalahgunakan.
"RUU ini mengakomodasi tindak penyelundupan yang sebenarnya sangat bervariasi baik dari sisi jumlah yang diselundupkan, modus, maupun pelaku penyelundupan. Pelaku penyelundupan bervariasi mulai dari skala kecil yang dilakukan rakyat kecil di daerah perbatasan sampai ke pelaku skala besar," kata Menkeu.
Menurut dia, RUU Kepabeanan juga memperberat sanksi pidana penyelundupan di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi secara bersamaan baik berupa sanksi denda maupun sanksi kurungan.
"RUU ini memberikan ancaman penjara dua hingga 10 tahun, dan denda mulai dari Rp50 juta hingga Rp5 miliar," katanya.
Sementara itu menanggapi adanya survey dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) yang mengungkapkan adanya kemungkinan pungutan tidak resmi hingga sekitar US$800 juta dalam masalah kepabeanan, Jusuf Anwar mengatakan, survey tersebut hanya ditujukan untuk memantau iklim investasi, tidak untuk aparat Ditjen Bea dan Cukai.
"LPEM UI telah mengklarifikasi bahwa itu merupakan survey terhadap pihak yang berhubungan dengan kepabeanan dan hanya terkait dengan masalah pelayanan," katanya. (*/lpk)
http://www.kapanlagi.com/h/0000091132.html
Analisis : Menurut saya UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak jelas, karena tidak di jelaskan berapa denda dan ancaman yang di kenakan terhadap penyelundupan barang. Dan di RUU baru di jelaskan, jadi memang seharusnya di perjelas sanksi yg di kenakan .

2. Bertugas Sambil Main Game, Jadi Keluhan Teratas Pegawai Bea Cukai
Jakarta - Hasil survey menunjukan tingkat ketidakdisiplinan para petugas Bea dan Cukai (kepabeanan) masih menempati posisi tertinggi terhadap pengaduan pelayanan kepabeanan oleh pengguna jasa kepabeanan (eksportir dan importir).
Ketidakdisiplinan itu diantaranya adalah bertugas sambil main game, tidak ada di tempat saat bertugas, dan lain-lain. Padahal seperti diketahui Departemen Keuangan khususnya Ditjen Bea Cukai telah diterapkan reformasi birokrasi termasuk memberikan remunerasi bagi pegawainya.
Hasil survey tersebut merupakan hasil kerjasama antara Ditjen Bea dan Cukai dengan Menneng PAN dan SFGG-GTZ terhadap 12 kantor pelayanan Bea Cukai di seluruh Indonesia dari tanggal 1 Agustus sampai 31 Agustus 2009 terhadap pengaduan pengguna jasa pelayanan kepabeanan. Survey itu menunjukan bahwa masalah kedisiplinan masih menjadi posisi teratas dalam keluhan pelayanan Bea Cukai yaitu menempati 45,18%, prosedur pelayanan manifest re-address tidak jelas dan lama 45,09%, proses pelayanan registrasi lama berbelit-belit sebesar 42,78%, sosialisasi peraturan yang kurang hingga 40,48%, dan lain-lain.
Demikian hasil survey yang dikutip oleh detikFinance melalui situs Ditjen Bea Cukai Rabu (21/10/2009).
Selain itu tingkat keluhan tertinggi terjadi pada masalah-masalah seperti proses pemeriksaan fisik barang yang lama dan berbelit-belit hingga menempati 32,19%, proses penyerahan dan penerimaan dokumen pondok loket lama hingga mencapai 32,02% dan lain-lain. Survey yang melibatkan 1.183 responden yang merupakan pengadu jasa kepabeanan ini, tingkat pengaduan tertinggi terjadi di KPU Tanjung Priok sebanyak 378 responden, website 310 responden, KPM Soekarno Hatta 110, KPM Tanjung Emas 99 responden, KPM Tanjung Perak 70 responden, KPU Batam 31 reseponden, KPM merak 29 responden, KPPBC Jakarta 20 responden, dan lain-lain.
"Salah satu tujuan dari survey ini adalah memberikan kepada Ditjen Bea dan Cukai untuk memperbaiki layanan agar sesuai dengan keinginan pengguna jasa," kata hasil survey tersebut. Berikut rincian keluhan terbanyak dari hasil survei pengaduan pengguna jasa:
1. Petugas tidak disiplin pada jam pelayanan (bermain game, tidak berada di tempat) 45,18%
2. Prosedur pelayanan manifest terkait Re-Address tidak jelas dan lama 45,09%
3. Proses pelayanan registrasi lama dan berbelit-belit 42,78%
4. Sosialisasi peraturan kepabeanan kurang 40,48%
5. Informasi mengenai perubahan aturan Larangan dan Pembatasan tidak disosialisasikan kepada pengguna jasa 36,72%
6. Dalam penerbitan SPKPBM (Notul), tidak ada penjelasan tentang alasan dikenakannya tambah bayar 32,28%
7. Proses pemeriksaan fisik barang lama dan berbelit-belit 32,19%
8. Proses penutupan pos manifes lama dan tidak jelas 30,57%
9. Penerbitan SPPB ( Surat Persetujuan Pengeluaran Barang ) lama 30,49%
10. Pada proses pemeriksaan barang / P2 / Analyzing point / pelayanan redres / pelaksanaan audit / petugas hanggar / pelayanan KITE / pelayanan pindah lokasi terdapat pungutan liar 29,63%
14. Instansi yang berwenang memberikan ijin barang larangan dan pembatasan belum jelas 29,55%
11. Koordinasi antar bagian/kantor Bea dan Cukai kurang baik 29,29%
12. Layanan hotline Bea dan Cukai tidak ada yang menjawab 29,04%
13. Petugas Bea dan Cukai kurang memahami peraturan di bidang HS serta Larangan dan Pembatasan 26,73%
14. Proses pengurusan ijin re‐impor lama 24,00%
15. Petugas gate tidak menggunakan seragam / identitas yang seharusnya 13,75%, dll
http://ram-xp.blogspot.com/2009/10/id-biz-bertugas-sambil-main-game-jadi.html
Analisis : Menurut saya memang harus ada perbaikan dalam kinerja di Bea Cukai, karena banyaknya keluhan dari masyarakat.

3. “Masalah utama yang dihadapi DJBC saat ini adalah dari sisi citra dibanding sisi kinerja”
DJBC, Masih segar diingatan, pada akhir bulan Juni 2005, hampir seluruh media massa memberitakan soal praktek pungli di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Berita yang diawali oleh pernyataan ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Universitas Indonesia (LPEM-UI), Chatib Basri yang mengatakan terjadi pungutan liar (pungli) oleh DJBC sebesar Rp 7,1 triliun, yang didasarkan atas penelitian lembaga tersebut terhadap para pengguna jasa di lima kota besar, Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar pada priode bulan April hingga Juni 2005.
Berita besar yang menjadi topik utama di media massa dalam beberapa hari tersebut, memang sangat mengejutkan semua pihak, tidak hanya pihak luar, termasuk khususnya di interen DJBC. Beberapa pegawai merasa kecewa karena begitu banyaknya pihak yang langsung mendiskreditkan DJBC sebagai instansi pemerintah yang terkorup di negeri ini.
Tidak hanya itu, dalam lingkungan pegawai sendiri terjadi suatu pertanyaan besar baik oleh keluarga maupun lingkungan tempat tinggal. Beberapa pegawai mengaku masalah tersebut menjadi bahan pertanyaan oleh orang tua maupun putra-putrinya.
Untuk mengklarifikasi pemberitaan yang banyak muncul di media massa, pihak DJBC melakukan pertemuan dengan LPEM-UI pada 1 Juli 2005 dengan maksud mendiskusikan hasil survei yang dibuat sambil memberikan masukan dari sisi kinerja bea cukai selama ini. Bagaimana sebenarnya hasil pertemuan tersebut dan bagaimana DJBC menyikapi sorotan-sorotan yang selama ini ditujukan, serta langkah-langkah apa yang dilakukan untuk menjawab masalah pungli yang di maksud, Selain itu, DJBC juga memberikan masukan-masukan terutama yang terkait dengan prosedur pelayanan dan release time (waktu penyelesaian barang) serta berbagai hal yang terkait dengan pengertian clearance barang impor.
Memang, apabila kita perhatikan, DJBC adalah salah satu instansi pemerintah yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Terlepas dari isinya baik yang positif maupun negatif, harus diakui bahwa hal tersebut adalah salah satu konsekuensi dari tuntutan perubahan (reformasi) yang terjadi saat ini.
Sebagaimana dimaklumi, tuntutan reformasi saat ini adalah keharusan pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan birokrasi pemerintah, seperti transparansi (keterbukaan), akuntabilitas, partisipasi seluruh elemen masyarakat, keadilan dan kemandirian. Untuk masa saat ini upaya peningkatan akuntabilitas pelaksanaan birokrasi pemerintah tersebut antara lain diwujudkan dengan adanya pengawasan baik dari sisi formal (dilakukan oleh lembaga yang secara formal ditugaskan) maupun informal (mengacu suatu bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga independen dan media massa.
Sorotan-sorotan dari masyarakat tersebut, apabila kita perhatikan, lebih banyak menyoroti mengenai masalah perilaku aparat dibanding masalah kinerja. Dari sini sebenarnya kita bisa memperoleh gambaran bahwa masalah utama yang dihadapi oleh DJBC saat ini adalah dari sisi “citra” dibanding sisi “kinerja”.
Berkaitan dengan masalah “citra” yang berhulu pada perilaku aparat tersebut, dapat dijelaskan bahwa karakteristik tugas yang harus dilaksanakan oleh aparat DJBC sangat rentan untuk terjadinya pungutan-pungutan tidak resmi. Namun demikian, sebagaimana pepatah “tidak ada asap tanpa api”, maka hal ini dapat terjadi karena adanya andil dua pihak yang sama-sama mempunyai kepentingan masing-masing. Secara normatif, memang hal ini tidak akan terjadi apabila kedua belah pihak, yaitu aparat DJBC dan pelaku usaha, mempunyai integritas dan kepatuhan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi, kondisi real-nya tidaklah sehitam putih itu.
Sebagai contoh: apabila pada suatu pengimporan semua ketentuan/peraturan/prosedur dan kondisi ideal (adanya integritas dan kepatuhan hukum) telah terpenuhi, namun di sisi lain importir karena alasan-alasan ekonomis menginginkan barang miliknya dapat segera dikeluarkan dari pelabuhan secepatnya - untuk mengurangi biaya penumpukan dan resiko yang mungkin timbul antara lain rusak, hilang dsbnya - maka potensi timbulnya “kesepakatan” antara kedua belah pihak mungkin terjadi.
Lalu, hal ini secara rutin dijadikan sebagai komponen cost bagi pelaku usaha dalam pengurusan kepabeanannya, dan pengeluaran ini selalu disebutkan oleh pelaku usaha apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan praktek-praktek pungutan tidak resmi.
Kondisi ini lebih diperparah apabila melihat kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan/renumerasi dan fasilitas bagi para aparatur di lapangan untuk menunjang pelaksanaan tugas yang sangat minim. Meskipun bukan menjadi alasan pemaaf, namun sebagaimana opini, wacana, dan penelitian yang dilakukan oleh para pakar, hal ini sedikit banyak mempunyai korelasi yang signifikan terhadap kemungkinan timbulnya pungutan tidak resmi oleh aparat.
http://new.beacukai.go.id/news/print_news.php?newsID=1068&channelID=01
Analisis : Menurut saya DJBC harus lebih meningkatkan integritas, kedisiplinan dan profesionalisme aparat, menciptakan budaya, iklim kerja yang mengedepankan unsur pelayanan, memperbaiki sistem dan prosedur sehingga dapat sesuai dengan standar kepabeanan Internasional, dapat meminimalisir frekuensi pertemuan antara aparat DJBC dengan pelaku usaha, dapat mempersingkat tenggang waktu pengeluaran barang, dan dapat mengurangi potensi terjadinya pungutan tidak resmi oleh aparat, dan memperketat sistem pengawasan. Hal tersebut agar tidak adanya argument-argument negative dari Masyrakat.

4. Mengkorupsi Bea dan Cukai
Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008. Dari hasil inspeksi mendadak ini, KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap melibatkan pihak ketiga, seperti satuan pengamanan, bahkan petugas kebersihan. Sedangkan tempat transaksi tidak hanya di bawah meja, tapi juga di mobil, tempat parkir, hingga toilet. Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008. Dari hasil inspeksi mendadak ini, KPK menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Selain melibatkan pegawai Bea dan Cukai, suap melibatkan pihak ketiga, seperti satuan pengamanan, bahkan petugas kebersihan. Sedangkan tempat transaksi tidak hanya di bawah meja, tapi juga di mobil, tempat parkir, hingga toilet. Apa yang dilakukan oleh KPK layak mendapat apresiasi. Artinya, langkah yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan masyarakat dan juga dunia usaha, agar KPK memprioritaskan penanganan korupsi di sektor pelayanan publik termasuk di dalamnya Bea dan Cukai. Prestasi ini tidak muncul pada periode KPK sebelumnya. Inisiatif pimpinan Bea dan Cukai, yang berani menempuh sikap tidak populer di mata anak buahnya dengan mengundang KPK membantu membersihkan oknum-oknum pegawai Bea dan Cukai, juga perlu dijadikan kriteria standar bagi siapa saja calon pejabat yang akan memimpin instansi pemerintah. Pada sisi lain, langkah yang dilakukan oleh KPK seiring dan sejalan dengan reformasi birokrasi internal yang sedang dicanangkan di lingkungan Departemen Keuangan sejak 2007. Sebagaimana diberitakan, Departemen Keuangan, yang membawahkan Direktorat Bea dan Cukai, telah menghabiskan anggaran Rp 4,3 triliun untuk program reformasi birokrasi. Anggaran reformasi birokrasi untuk Departemen Keuangan dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja serta pemberian munerasi (tunjangan kerja) kepada pejabat dan pegawai. Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para pegawai Departemen Keuangan diharapkan tidak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini tercatat dilakukan sejak 1 Juli 2007 dalam bentuk tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN). Bea-Cukai adalah sebuah lembaga penting dalam perdagangan internasional. Salah satu peran Bea-Cukai adalah fasilitator perdagangan (trade facilitator). Karena peran yang begitu serius, dalam aplikasinya lembaga yang berada di bawah Departemen Keuangan itu wajib memberikan pelayanan yang melingkupi empat hal, yaitu hemat waktu, hemat biaya, aman, dan mudah (save time, save cost, safety, dan simple). Cerminan layanan itu menjadi bagian integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Namun, praktek korupsi yang menyelimuti Bea-Cukai mengakibatkan pelayanannya menjadi buang-buang waktu, biaya mahal, tidak aman, dan sulit. Memang perhatian publik terhadap Bea-Cukai selalu menarik dibanding instansi pemerintah lain yang juga tak kalah korupnya dibanding Bea-Cukai. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh KPK juga memperkuat penilaian publik mengenai maraknya praktek korupsi di Bea-Cukai. Pada awal 2007, survei Transparency International Indonesia (TII) menempatkan instansi Bea dan Cukai sebagai instansi terkorup bersama Kepolisian Republik Indonesia. Masih pada 2007, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia dan Bank Dunia merilis sebuah hasil survei mengenai dugaan korupsi di tubuh Bea-Cukai. Berdasarkan hasil survei LPEM-Bank Dunia tersebut, nilai korupsi di Bea-Cukai tidak tanggung-tanggung, sekitar Rp 7 triliun per tahun. Survei itu melibatkan tak kurang dari 600 pengusaha di bidang manufaktur, tersebar pada lima kota besar, Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Berbagai pungutan ilegal yang harus ditebus pengusaha dalam berurusan aparat Bea-Cukai. Titik rawan pungutan liar di antaranya lahir dari kebijakan jalur merah dan jalur hijau. Modusnya, barang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tiba-tiba oleh petugas diarahkan pada jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya. Tindakan petugas seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan membuka peluang bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu mengincar jalan pintas. Masalah korupsi di bea dan cukai sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga muncul di beberapa negara di seluruh dunia. World Customs Organization (WCO) sebagai wadah instansi bea dan cukai seluruh dunia menyadari betul masalah korupsi ini. WCO, yang didirikan pada 1952 sebagai Customs Cooperation Council, merupakan lembaga independen antarpemerintahan dengan misi meningkatkan efektivitas dan efisiensi instansi bea dan cukai. Beranggotakan 159 negara, WCO merupakan satu-satunya organisasi antarnegara yang kompeten dalam masalah-masalah kepabeanan. Pada 1993, dalam pertemuan tahunannya di Arusha, Tanzania, organisasi pabean sedunia ini melahirkan sebuah deklarasi berkaitan dengan integritas bea dan cukai. Deklarasi yang dikenal sebagai Arusha Declaration (Deklarasi Arusha) ini berisikan daftar 12 langkah spesifik yang bisa diambil instansi bea dan cukai demi mencegah korupsi, atau paling tidak membantu dalam mendeteksinya. Sejak Deklarasi Arusha, WCO sudah bekerja keras dalam merancang program reformasi dan modernisasi pabean yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Deklarasi Arusha ke paket yang lebih luas yang bisa dipergunakan negara-negara anggotanya untuk melakukan reformasi mendasar dalam proses dan organisasi masing-masing. Kebutuhan akan program yang demikian muncul karena sejumlah pengaruh yang berbeda-beda, seperti berkurangnya hambatan tarif, pertumbuhan yang diproyeksikan dalam perdagangan dunia, tidak adanya toleransi pemerintahan terhadap campur tangan bea dan cukai yang tak beralasan, serta kebutuhan bea dan cukai untuk memfasilitasi kesejahteraan. Untuk menyukseskan upaya Bea dan Cukai dalam meningkatkan integritas di lingkungan kerjanya, instansi ini harus mendapat dukungan yang kuat dan efektif dari dua sektor yang melebihi lembaga mana pun kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan budaya kerja, yaitu para pemimpin nasional dan anggota masyarakat perdagangan internasional. Importir, eksportir, perusahaan penerbangan, pelayaran, otoritas pelabuhan dan bandar udara, konsultan perdagangan, dan mereka yang terkait dengan perdagangan internasional harus mengatakan tidak untuk menjadi bagian dari praktek korupsi yang dilakukan di instansi Bea dan Cukai. Terakhir, apa yang dilakukan oleh KPK diharapkan tidak berhenti pada inspeksi mendadak, tapi juga meneruskan ke proses hukum terhadap para pelaku penyuapan yang terjadi di lingkungan Bea dan Cukai, baik pemberi maupun penerima. Menteri Keuangan serta Dirjen Bea dan Cukai selaku atasan juga harus berani mengambil langkah tegas dengan memberikan sanksi yang berat bagi pegawai-pegawai yang dinilai tidak bertanggung jawab ini. Harapannya, langkah ini dapat menjadi efek kejut (shock therapy) bagi pegawai Bea dan Cukai ataupun jajaran di bawah Departemen Keuangan agar tidak mengulang kesalahan serupa. Masyarakat hanya berharap jangan ada lagi korupsi di Bea dan Cukai. Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Juni 2008
http://antikorupsi.org/indo/content/view/12732/1/
Analisis : Menurut saya fasilitas dan tunjangan-tunjangan yang di berikan kepada pegawai Bea cukai sudah cukup baik, tapi kenapa masih ada saja yang tidak puas dengan fasilitas tersebut dan malah melakukan korupsi yang merugikan Negara terutama rakyat Indonesia.
5. Peta Permasalahan Akibat Perbedaan Kewarganegaraan Antara Ibu (WNI) dan anak (WNA) -1
Menurut Nuning ada dua belas masalah yang timbul ketika pasangan tersebut tinggal di Indonesia. Pertama ketika tinggal di Indonesia dan melahirkan anak di RI. Karena status anaknya adalah WNA, maka kelahiran tersebut harus dilaporkan ke kantor imigrasi untuk memperoleh Surat Lapor Lahir (SLL). Proses dimulai dengan mengurus akte kelahiran, membuat surat keterangan mengenai kelahiran WNA di kantor imigrasi setempat yang harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari setelah kelahiran. Apabila terlambat akan dikenakan denda sebanyak US$ 20/hari. (SK Menteri Kehakiman No.M.02.IZ.01.10 tahun 1995, Pasal 52 ayat 1 (b) dan (c)).
Selanjutnya setelah anak yang baru lahir, harus didaftarkan ke kedutaan besar negara ayahnya, untuk memperoleh paspor. Setelah mempunyai paspor, maka anak harus kembali dilaporkan ke imigrasi untuk mengajukan izin tinggal terbatas (ITAS) dalam jangka waktu 60 hari sejak anak lahir. Jika terlambat akan dikenakan denda sebanyak US$ 20/ hari. (SK. Menteri Kehakiman No.M.02.IZ.01.10 tahun 1995 pasal 55). Setelah Itas terbit, maka anak harus dilaporkan untuk memperoleh Surat Tanda Melapor Diri (STMD). Dalam proses pengurusan tersebut ( Akte lahir, SLL, Paspor, Itas dan STMD) membutuhkan biaya cukup besar (+/- Rp.5.500.000/anak) dan tidak semua pasangan kawin campur memperoleh sponsor penuh dari perusahaan tempat suaminya bekerja atau mempunyai cukup uang.
Masalah Kedua adalah perlakuan selama mengurus keimigrasian. Dalam proses keimigrasian tersebut, perempuan WNI mengalami perlakuan tidak adil dalam pelayanan publik, karena sering dianggap sebagai perempuan yang tidak baik-baik. Perlakuan tidak layak ini biasanya di bentak-bentak oleh petugas imigrasi. Masalah Ketiga adalah jika suami tidak memiliki Izin Tinggal Terbatas (Itas). Bayi yang lahir tersebut akan berada dalam sponsor ibu untuk memperoleh Itas. (SK Menteri Kehakiman No.M.02.IZ.01.10 tahun 1995, Pasal 52 ayat 1 (c)). Ketentuan mengenai Itas ini adalah izin yang diberikan untuk jangka waktu 1 tahun dan bisa diperpanjang setiap tahun di kantor imigrasi setempat sampai 5 tahun. Setelah 5 tahun maka anak tersebut harus mendapatkan izin tinggal baru di luar negeri.
Proses pembuatan Itas, biaya resminya adalah US$ 40, tetapi dalam kenyataanya biaya bisa membengkak menjadi Rp. 4.000.000 / orang. Perpanjangan tiap tahun biaya resminya Rp. 400.000, tetapi bisa membengkak sampai Rp. 1.5 juta – 2 juta. Jika masa berlaku Itas habis, maka si anak harus mengurus exit permit only (EPO) seharga Rp.350.000. Kemudian mengajukan Izin tinggal terbatas baru ke Dirjen Imigrasi dengan biaya Rp. 500.000. Setelah izin terbit, visa harus diambil di Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di luar negeri seharga Rp. 650.000 dengan masa tunggu 3 hari kerja (keluar biaya penerbangan, fiskal bagi ibu WNI, hotel, makan, dan sebagainya yang cukup besar selama menunggu visa dari KBRI) Kebijakan mengambil visa 1 hari kerja sudah dihapuskan.
Masalah keempat, jika suami tiba-tiba kehilangan pekerjaan dan sponsor dari perusahaan. Biasanya anak-anak harus memakai visa kunjungan sosial budaya yang berlaku 2 bulan. Begitu suami kehilangan sponsor, maka anak-anak harus keluat dari RI dengan mengurus EPO dan pengajuan izin baru, setelah kembali dari luar negeri kantor imigrasi mengeluarkan visa sosial budaya. Setelah 2 bulan, visa tersebut harus diperpanjang setiap bulan sampai 4 kali dengan biaya resmi Rp.225.000, tetapi kenyataanya mencapai Rp. 600.000/bulan/orang. Selanjutnya harus melakukan pelaporan Orang Asing (POA) setelah 90 hari. Setelah 4 kali perpanjangan (total tinggal di RI 6 bulan) mereka harus mengajukan visa baru dan diambil di KBRI. Proses dan biaya sama dengan Itas.
Masalah kelima adalah jika terjadi perpisahan dengan suami karena perceraian atau kematian. Perempuan WNI harus mensponsori anaknya untuk tinggal di Indonesia jika umur anak tersebut di bawah 18 tahun. Perpanjangan izin sama dengan nomor 3 dan 4. Sayangnya, tidak semua perempuan WNI mampu membiayai izin tinggak anaknya, sehingga banyak ditemukan kasus deportasi anak karena melampaui izin tinggal.
Masalah keenam adalah ketika Imigrasi menetapkan negara rawan dan tidak rawan. Contoh negara rawan adalah Nigeria dan Afghanistan. Pembagian rawan dan tidah rawan tersebut selain politis juga bersifat rasial, karena alasan kerawanan tersebut harus mengeluarkan uang lebih banyak karena aturan keimigrasiannya dibedakan dari yang umum. Perpanjangan visa harus dilakukan ke luar negeri setiap tahun, dan tidak bisa pergi ke negeri terdekat dengan Indonesia, tetapi harus dilakukan di Kedutaan Besar Indonesia dekat dengan negara asal. Sedangkan masalah ketujuh yang akan dihadapi adalah masalah Naturalisasi. Masalah ini hanya berlaku bagi ayah, tetapi tidak bagi anak-anak. Walaupun terjadi perceraian atau kematian, anak-anak harus menunggu sampai usia 18 tahun untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Masalah kedelapan adalah jika terjadi perceraian. Jika masalah ini terjadi, anak bisa diambil suami sewaktu-waktu tanpa seijin ibunya dan dibawa ke negara asal ayah, walaupun pengadilan menetapkan hak asuh berada di tangan ibu. Akan sulit bagi sang ibu untuk mengambil kembali anaknya karena perbedaan kewarganegaraan. Dari sini bisa memunculkan masalah kesembilan adalah ketika negara si Ayah menolak pewarganegaraan anak, maka anak menjadi stateless atau tanpa kewarganegaraan.
Selanjutnya yang menjadi masalah kesepuluh jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Jika perempuan tersebut mengalami kekerasan dalam rumah tangga (ekonomi, fisik, verbal, psikologi) akan sulit baginya melaporkan suami pada polisi karena ketakutan suaminya dideportasi, yang berarti mendeportasi pula anak-anaknya. Sementara itu jika perempuan tersebut mengalami penganiayaan dalam rumah tangga dan ingin bercerai, maka mereka terhambat ijin keiimigrasian agar bisa mensponsori anaknya tinggal bersama ibu, karena untuk mensponsori anaknya tinggal di RI harus ada surat tidak keberatan dari Ayah. Kesulitan imigrasi tersebut menyebabkan perempuan memilih berdamai lagi dengan suami yang WNA.
Masalah kesebelas adalan masalah pewarisan properti. Jika perempuan WNI tersebut meninggal, maka anak-anak dan suami yang WNA tidak berhak mewarisi harta tidka bergerak (property). Harta warisan perempuan WNI tersebut harus dijual dalam jangka waktu 1 tahun dan ahli waris hanya berhak memperoleh 50 persen dari hasil penjualan tersebut, dan 50 persen lagi adalah hak negara. Jika dalam satu tahun properti tersebut tidak dijual, maka akan menjadi milik negara sepenuhnya. Disini negara mengabaikan keterikatan emosi antara ibu, anak dan nilai historis dari peninggalan perempuan WNI tersebut.
Dan terakhir masalah keduabelas yang juga muncul ketika menginginkan anak menajdi WNI sebelum waktunya. Atas keinginan ini, beberapa perempuan WNI mengklaim anaknya lahir diluar nikah agar memperoleh kewarganegaraan RI (UU No.62 tahun 1958 pasal 1 (d) dan tidak harus direpotkan maslah ijin keimigrasian.
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/peta_permasalahan_akibat_perbedaan_kewarganegaraan_antara_ibu_wni_dan_anak_/
Analisis : Menurut saya sangat sulit untuk mendapatkan pengakuan dari suatu Negara apabila mempunyai anak dari WNA, tapi untuk petugas imigrasi harusnya tidak melihat ibu (WNI) yang ingin mendaftarkan anaknya dengan segi negative, karena semua warga Negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam hukum, dan ada baiknya pengurusannya tidak di persulit, karena nantinya WNI akan malas untuk mendapatkan status anaknya, dan malah lebih memilih hamil diluar nikah.
6. migrasi Bertekad Menata Diri
Jakarta, hukumham.info- Setelah menggulirkan berbagai program-program dan inovasi baru (biometrik dan e- office) yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik, jajaran Imigrasi Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) di seluruh Indonesia menyatukan tekad untuk menata imigrasi lebih baik.
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM menggelar Penyuluhan Peraturan Keimigrasian Terpusat (23-24 Juni 2008). Kegiatan yang bertema “Menata Imigrasi Baru Menuju Clean Government and Good Governance” membahas masalah-masalah strategis imigrasi dan tantangan imigrasi ke depan.
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta mengemukakan, tema good and clean governance sangat tepat diangkat. ”Ini sangat aktual dan tepat momentumnya untuk kita diskusikan sebagai respons kita terhadap tuntutan publik akan perbaikan kinerja imigrasi,” ujar Andi saat membuka acara.
Andi mengatakan, wajah imigrasi harus menuju pada clean and good governance. Jargon clean and good governance di Indonesia tidak lagi semata-mata hanya jargon akademik. Namun, jargon ini telah mempunyai kekuatan hukum karena telah menjadi dasar hukum penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
“Saya ingin mengajak dan menantang saudara untuk mewujudkan imigrasi baru, seperti tema yang dipilih kali ini,” ujar Andi di hadapan 106 kepala kantor Imigrasi, 33 kepala divisi Imigrasi, 16 perwakilan IImigrasi di luar negeri, dan 13 kepala rumah detensi Imigrasi serta jajaran imigrasi.
Menurut Andi, ada dua usur yang perlu digarisbawahi untuk menuju imigrasi lebih baik. Pertama, membangun wawasan ke depan (strategic vision) dan pendangan ke depan (visioner). Kedua, membangun daya tanggap (responsiveness). “Imigrasi baru berarti harus memiliki wawasan ke depan dan tanggap akan perubahan dan tuntutan. Ini berarti pejabat imigrasi harus visioner untuk mengubah imigrasi,” tegas Andi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Imigrasi Basyir Ahmad Barmawi mengatakan dengan inovasi-inovasi yang telah dan akan terus dilakukan imigrasi, seperti sistem biometrik dan e-office-- akan mempermudah pelayanan kepada masyarakat.”Masyarakat akan sangat termudahkan,” ujar Basyir seusai menutup kegiatan (24/06).
Sistem e-office akan mempercepat pelayanan keimigrasian menjadi lebih cepat karena sistem manual digantikan secara elektronik. Sebelumnya, sebuah permohonan yang diajukan dari Marauke harus dilayangkan melalui surat ke kanwil di Jayapura dan kemudian diteruskan ke Ditjen Imigrasi Jakarta. Kini, dengan sistem elektronik akan menjadi sangat ringkas. Dengan e-office, proses administrasi dapat dilakukan secara elektronis karena input data dari Merauke dapat ditampilkan secara real time (saat itu juga) di Jayapura dan Jakarta.
Contoh lainnya, ketika Kantor Imigrasi di Sabang mendeportasi orang asing, maka kantor wilayah di provinsi serta kantor pusat di Jakarta dapat mengakses identitas, alasan pendeportasian, alasan dimasukkan dalam daftar cekal atau tidak.
Dengan e-office transparansi, pengurusan surat-surat keimigrasian juga terjamin. Salah satu keuntungan e-office adalah pada saat pengurusan surat-surat keimigrasian akan terjadi proses manajemen proses.
Jika dalam pengurusan terdapat dokumen yang tidak lengkap, maka tidak akan bisa dilayani. Namun kalau dokumen sudah lengkap, otomatis terstruktur dan terlayani dengan baik.
”Termasuk siapa petugas yang melayaninya sudah tercantum. Begitu pelayanan itu diterima, terekam orang (petugas) yang bertanggungjawab menyelesaikannya. Kita bisa tindak kalau tidak melakukan tugasnya dengan baik,” jelas Basyir.

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1001&Itemid=43
Analisis : Menurut saya ide dan gagasan yang baik apabila jajaran Imigrasi Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) di seluruh Indonesia menyatukan tekad untuk menata imigrasi lebih baik.
7. Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin mengatakan pihaknya segera merestrukturisasi organisasi Ditjen Imigrasi dalam rangka pembenahan institusi tersebut.
"Berkali-kali Presiden Yudhoyono meminta kepada saya untuk betul-betul memberikan perhatian serius tentang pembenahan imigrasi," katanya kepada wartawan usai wisuda AKIP di Cinere, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, Presiden juga secara eksplisit meminta kepada dirinya untuk melaksanakan pembenahan tersebut.
"Kalau saya bicara soal pergantian berarti itu juga menyangkut orangnya. Bahkan rencananya kita akan melakukan restrukturisasi organisasi," tegasnya.
Dalam pelaksanaannya, menurut Hamid, pihaknya akan melakukan telaah mengenai apakah fungsi-fungsi jabatan yang ada di imigrasi bermanfaat atau tidak.
"Apakah juga akan semakin memperpanjang birokrasi," katanya.
Menurut dia, untuk menelaah masalah ini, pihaknya akan duduk bersama dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi untuk menelaah struktur organisasi dengan prinsip terbuka dan efisien.
Sementara itu, soal temuan penyalahgunaan yang ada di KBRI dan KJRI Malaysia, menurut dia, adalah temuan dari Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri. Oleh karena itu , agar datanya bisa cocok atau tepat , maka Depkum dan HAM, mengirim inspektur imigrasi untuk melakukan penelitian.
"Ini dilakukan supaya ada cek silang," katanya.
Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan memberantas praktek penyimpangan di jajaran keimigrasian karena penyimpangannya cukup serius.
"Pemerintah mengambil kesimpulan, praktek penyimpangan di jajaran keimigrasian cukup serius," kata Presiden usai sidang kabinet terbatas yang membahas masalah keimigrasian di Kantor Presiden, Jakarta.
Pemerintah, kata Presiden , akan mengambil tiga langkah dalam menyelesaikan masalah keimigrasian tersebut.
Pertama, melakukan pemeriksaan dan investigasi untuk menegakkan hukum.
"Yang salah ditindak, baik itu jajaran di pusat maupun daerah serta yang ada di dalam negeri maupun luar negeri," tegasnya.
Kedua, melakukan restrukturisasi atau tata ulang lembaga sehingga menjadi lebih kredibel dan ketiga, meningkatkan kapasitas lembaga Imigrasi seperti menggunakan teknologi informasi sehingga sistem pelayanan menjadi lebih cepat namun benar.
Presiden Yudhoyono mengatakan keimigrasian merupakan masalah fundamental, serius dan perlu penanganan yang tepat dan cepat.
"Saya banyak mendapat laporan dan masukan mengenai praktek penyimpangan di jajaran keimigrasian baik di dalam negeri maupun luar negeri," kata Presiden.
Oleh sebab itu, katanya, Pemerintah harus melakukan tindakan yang tepat untuk melakukan penegakan hukum dan dilanjutkan restrukturisasi dan penataan agar lembaga keimigrasian menjadi bersih, profesional dan akuntabel.


Pungli di Luar Negeri
Presiden memberikan contoh laporan mengenai penyelewengan di keimigrasian seperti pungutan liar di luar negeri.
Paling tidak, kata Presiden, ada laporan di dua lokasi yakni di Penang dan Kuala Lumpur dengan kerugian Rp12 miliar di Penang dan Rp 26 miliar di Kuala Lumpur, Malaysia.
Presiden juga menerima laporan mengenai dugaan korupsi pembayaran fiskal perjalanan luar negeri yang jumlahnya juga cukup besar ataupun soal paspor palsu yang ditemukan langsung di Kuala Lumpur terkait dengan perdagangan wanita.
Laporan lain mengenai pungutan liar terhadap warga negara asing baik wisatawan maupun calon investor.
Presiden Yudhoyono menyayangkan pungutan tersebut karena pemerintah sedang berusaha meningkatkan kedatangan wisatawan dan penanaman modal. Padahal jika ada pungutan liar seperti itu maka mereka tidak akan masuk ke Indonesia.
Dalam hal ini, Presiden juga meminta kepada masyarakat untuk memberikan laporan mengenai pelayanan atau praktek-praktek penyimpangan pelayanan lainnya diluar keimigrasian seperti masalah pertanahan. (*/rit)
http://www.kapanlagi.com/h/0000097332.html
Analisis: Menurut saya tindakan yang di ambil Pak Presiden RI sangat baik, karena memang banyak penyimpangan-penyimpangan yang di lakukan di Imigran, dan itu sangat merugikan bangsa Indonesia, karena berkurangnya devisa yang masuk ke kas Negara.

8. WNA Diduga Anggota Sindikat Narkoba ditangkap Intelijen Imigrasi
JAKARTA, Senin (03/03), Berawal dari kecurigaan melihat gerak langkah serta sikap tindak seorang warga asing yang terburu-buru keluar dari sebuah cafe memasuki sebuah taksi yang melintas di bilangan Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, sekitar pukul 22.00 WIB. Satuan Intelijen keimigrasian mencoba melakukan komunikasi namun ternyata taksi tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Tepat pada perempatan Jl. KH Wahid Hasyim Asyari, mobil yang dikendarai WNA asing tersebut berhasil dihentikan. Seorang WNA meloncat keluar dan berupaya melakukan perlawanan, namun tindakan yang diluar dugaan itu berhasil dilumpuhkan. Saat itu ditemukan 1 (satu) bungkus ganja yang disimpan dalam uang kertas Rp. 10.000,- ; 15 (lima belas) lembar uang pecahan USD 100; serta Paspor a.n. HAGE NAYEE G (lk), Liberia, Tempat/Tgl Lahir : Monrovia, 24 Januari 1975, Paspor nomor : 0111875 berlaku s/d 08 Desember 2010. Masuk Indonesia tanggal 16 Februari 2008 dengan menggunakan Visa Kunjungan Beberapa Kali Perjalanan indeks visa 212. Saat ini Ybs bertmpat tinggal di Apartemen Taman Anggrek Tower C-21. Saat ini Ybs mencoba menyuap petugas dengan menawarkan sejumlah uang sebesar lima belas juta rupiah ditambah lagi sebesar duapuluh juta rupiah.
Petugas INTELKIM tidak menggubris tawaran tersebut. Dari rekam jejak ditemukan informasi bahwa Ybs telah melakukan perjalanan ke Ghana, Namibia, Malawi, China, serta telah tiga kali masuk RI melalui Thailand. Sponsor terakhir adalah PT. Paris Jaya Pratama yang beralamat Jl. KS Tubun I no.15 (Gg. Harland). Pada (05.02), Pk.02.00, Ybs dan barang bukti telah diserah terimakan kepada Polda Metro Jaya.

Sebelumnya ditempat yang berbeda pada pk. 21.00 WIB, disekitar pertokoan di bilangan Thamrin, ditemukan 3 (tiga) orang asing yaitu : (1) TOUMI MUSTHAPA (lk), Tempat/Tanggal Lahir : Khemis Miliana, 26 Januari 1972, Paspor nomor : 01789216 berlaku s/d 09 Februari 2012. Masuk Indonesia tanggal 02 September 2007 melalui Dumai. Memiliki UNHCR Asylum Seeker Certifikate yang sudah habis masa berlaku sejak 09 September 007. Seorang warga asing mengaku bernama KROUCHE ABDALLAH (Aljajair) dan seorang lainnya mengaku bernama MUHAMMAD QAISAR (Afganistan ) ditangkap karena tidak dapat menunjukkan dokumen keimigrasiannya. Namun saat ini Ybs telah dibebaskan oleh pihak Imigrasi telah bisa menunjukkan paspor atau identias keimigrasiannya.
http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=120&Itemid=34
analisis : Menurut saya memang harus di perketat pengawasan di Pintu masuk RI, jangan karena diberi uang oleh para penjahat di beri izin masuk ke wilayah RI, karena mereka adalah penjahat yang ingin merusak Negara Indonesia, jangan sampai kecolongan lagi.

9. Kantor Imigrasi Ranai deportasi 107 WNA Thailand
Ranai-Senin(21/04) Pada tanggal 23 Maret 2008, jam 21.00, Kantor Imigrasi Ranai mendeportasi Anak Buah Kapal Ikan Asing sebanyak 107 (seratus tujuh) orang ke negara asalnya, Thailand.
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Ranai, Syaiful Bachri, pendeportasian ini bekerjasama dengan TNI AL Ranai, ke-107 WNAThailand tersebut dideportasi dari Pelabuhan Penagi, Ranai Natuna dengan menggunakan Kapal KM. Cakra Tong 07 dan KM. Cakra Tong 08.
Pendeportasian ini berdasarkan Surat dari Komandan Satuan Satgas Keamanan Laut V / TPI Kelompok Tugas Keamanan V.3 / RNI No. B / 214 / III / 2008 tanggal 23 Maret 2008 perihal Deportasi WNA.

http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=119&Itemid=34
Analisis : Menurut saya memang lebih baik di deportasi ke Negara asalnya, karena mereka tidak mempunyai kelengkapan dokumen, ya.. takut saja mau merusak keindahan laut Indonesia.

10. Imigrasi Bebas Pusing di Pintu Masuk
PUPUS sudah harapan Nurlela, 25 tahun. Tekad mengundi nasib ke negeri jiran terhenti di Kantor Imigrasi Pare-pare, Sulawesi Selatan. Duit Rp 700.000 untuk mengurus paspor melayang, diembat orang yang mengaku sebagai pegawai Imigrasi Pare-pare. "Dia mengaku bisa mempercepat urusan paspor saya," kata Nurlela kepada wartawan Gatra Anthony.
Nurlela pastinya bukan korban pertama. Nurlela juga tidak sendirian mengalami kebingungan manakala berurusan dengan kantor imigrasi. Keluhan tentang kerumitan dan sebagian berakhir dengan pemerasan di kantor imigrasi berjibun jumlahnya. Yang jadi korban bukan hanya warga kecil seperti Nurlela, melainkan juga warga asing.
Tengoklah cerita Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda. Dalam sebuah forum yang dihadiri para pebisnis negara ASEAN, kata Hassan, sejumlah pengusaha mengeluh. Mereka acapkali kesulitan bila berhadapan dengan kantor imigrasi Indonesia. Sekalipun, kedatangan itu atas undangan resmi. Contohnya terjadi di Lombok, Nusa Tenggara. Kedatangan para pengusaha di sana ditolak dengan dalih tidak ada visa bisnis. "ASEAN sudah begitu maju dan membebaskan visa, kok imigrasi di Indonesia malah mencari-cari masalah," kata Presiden Susilo ''SBY'' Bambang Yudhoyono, yang mendapat laporan dari Hassan Wirajuda.

Itu sebabnya, Presiden SBY pun geregetan. "Saya ingin melakukan pembersihan keimigrasian sekarang juga," kata presiden di Kuala Lumpur, Rabu pekan lalu.
Dia memerintahkan pihak terkait membenahi imigrasi. Pertahankan apa yang baik dan berantas yang menyimpang. Bagi mereka yang terlibat kejahatan, hukum dengan tegas. "Tidak boleh siapa pun menjadi money making body," katanya.
Mendapat sorotan tajam, para pejabat imigrasi memilih diam. Anggoro Reksodirdjo, Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, misalnya, menyatakan tidak bersedia berkomentar. ''Bukan wewenang saya," katanya singkat.
Namun Anggoro tidak menyangkal bahwa di kantornya memang banyak calo yang nongkrong. Menurut dia, calo-calo itu beroperasi sangat canggih dan gigih. Jika melihat mobil masuk halaman, langsung diserbu. "Kasihan pemohon yang mau mengurus paspor,'' ujarnya.
Melihat kondisi demikian, Anggoro tidak tinggal diam. Dia bertekad meningkatkan pelayanan pada pemohon paspor. Untuk mengatasi kesemrawutan, pagar pembatas kantor dipertinggi sehingga pedagang tidak terlihat dari dalam kantor. Selain itu, para calo dilarang berdiri di pintu masuk atau halaman kantor.
''Masalah calo ini bukan masalah sepele," katanya. Karena menyangkut lapangan kerja dan urusan perut. Jika dihantam langsung, reaksinya akan negatif. Makanya, untuk menertibkan mereka, perlu taktik. "Saya melarang mereka berdiri di luar. Di dalam, alur loket cukup jelas sehingga publik bisa langsung mengurus sendiri, tidak perlu calo,'' kata Anggoro.
Dia juga memasang imbauan agar tidak menggunakan jasa calo, di pintu masuk gedung Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. ''Saya harap, publik lebih berani mengurus sendiri,'' ujarnya.
Masalahnya, masyarakat terkadang juga mau enak sendiri. Dengan alasan pelayanan yang lambat dan bertele-tele --makan waktu satu-dua minggu-- mereka akhirnya mengambil jalan pintas. Yakni memanfaatkan jasa pengurusan alias calo. "Kami sih tidak mau ribet, maunya praktis aja," kata Nina, 39 tahun, kepada wartawan Gatra Rahman Mulya.
Dengan menggunakan jasa agen, Nina dan suaminya, Edi, yang berprofesi sebagai pengusaha di Jakarta, tinggal menunggu sidik jadi dan foto. Semua pengurusan dilakukan oleh agen tersebut. Hanya butuh empat hari, semua urusan beres. Meski untuk layanan ini, Nina harus merogoh kocek Rp 600.000 untuk satu paspor. Padahal, biaya resminya, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Biaya Imigrasi, hanya dikenai Rp 200.000, plus biaya foto Rp 55.000. Agar kerumitan itu tidak berlanjut, Anggoro menyatakan, pihaknya terus-menerus berupaya memperbaiki pelayanan. Hanya saja, sejumlah hambatan masih menghadang. Di antaranya, gedung kantor yang tidak didesain sebagai kantor pelayanan.

Sejak SBY naik ke kursi presiden, memang ada sedikit perubahan. Misalnya, di Kantor Imigrasi Kelas I Medan, orang bisa mengurus paspor sendiri, tanpa calo. Meskipun harus rela antre dan menunggu berhari-hari. "Pegawai imigrasi sedikit berubah," kata Dul Paspor --sebut saja begitu-- seorang calo di kantor imigrasi.
Meski berubah, bukan berarti kantor imigrasi bebas pungli. Bahkan aparat imigrasi di Kantor Imigrasi Kelas I Medan sengaja mengumpankan pemohon pada calo. Petugas mengarahkan pemohon mengambil surat permohonan dari koperasi, bukan dari loket. Saat mengambil surat itulah para calo leluasa beraksi.
Jika calo mendapat mangsa, aparat imigrasi ikut kecipratan rezeki. "Kami kasih mereka uang," kata Dul Paspor. Kalau sehari ada 700 orang yang mengurus paspor lewat calo, maka Rp 70 juta-Rp 140 juta mampir ke laci-laci meja aparat imigrasi.
Menurut Dul Paspor, total biaya bikin paspor Rp 275.000. Para calo mematok harga Rp 500.000 per paspor. Setoran ke pegawai imigrasi Rp 150.000. "Kami kebagian Rp 75.000 saja," katanya. Kalau situasinya demikian, imigrasi bebas pungli tinggal mimpi.
http://www.gatra.com/2005-12-23/artikel.php?id=90878
Analisis : Menurut saya memang harus di perbaiki kinerja aparat imigrasi, karena biasanya sudah ada kesepakatan atau kerjasama antar aparat dengan calo. Mungkin pengurusannya lebih mudah dan tidak ribet atau sulit seperti kita mengurus paspor sendiri, jadi sebagian orang memilih calo untuk mempermudah pengurusan. Dan seharusnya aparat imigrasi lebih meningkatkan kinerjanya menjadi professional dan sesuai ketentuan yang berlaku, agar tidak terjadi penipuan yang dilakukan para calo paspor itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar